Rabu, 11 November 2009

TUNGGAL RASA KAWULA GUSTI

Posted in TUNGGAL RASA KAWULA-GUSTI

UNSUR PEMBENTUK DIRI MANUSIA

Sajatine Ingsun Dat kang amurba amisesa,
kang kuwasa anitahake sawiji-wiji,
dadi padha sanalika,
sampurna saka ing kodrating-Sun,
ing kono wus kanyatahan Pratandhaning apngaling-Sun,
minangka bubukaning iradating-Sun,
kang dhingin Ingsun anitahake kayu,
aran sajaratul yakin,
tumuwuh ing sajroning ngalam
ngadam-makdum ajali abadi,
nuli cahya aran Nur Muhammad,
nuli kaca aran miratul kayai,
nuli nyawa aran roh ilapi,
nuli dammar aran kandil,
nuli sosotya aran darrah,
nuli dhinding jalal aran kijab,
kang minangka warananing kalarating-Sun

(Sesungguhnya Aku Dzat yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa,
yang berkuasa menciptakan sesuatu, terjadi dalam seketika,
sempurna lantaran kodratku, sebagai pertanda perbuatan-Ku,
merupakan kenyataan kehendak-Ku, Mula-mula Aku menciptakan
hayyu bernama sajaratul yakin, tumbuh dalam alam makdum yang azali abadi, setelah itu cahaya bernama Nur Muhammad, kemudian kaca bernama miratul kayai, selanjutnya nyawa bernama roh idlafi, lampu bernama kandil, lalu permata bernama dharrah, kemudian dinding jalal bernama hijab, yang menjadi penutup kehadirat-Ku.)

Dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita tersebut, termuat urutan kejadian Dzat dan Sifat dan Af’al (perbuatan) Tuhan. Yang dimaksud dengan AKU atau INGSUN dalam serat itu tidak lain adalah diri Dzat yang Mutlak. AKU sang Diri Sejati itu mulanya “tersembunyi” atau dumunung di Nukat Ghaib. Nukat artinya Wiji sedangkan Ghaib artinya samar. AKU atau INGSUN kemudian berniat menyatakan diri sebagai PENCIPTA SEGALA SESUATU.

“Niat Ingsun….” begitu doa orang Jawa biasa diucapkan adalah meniru apa yang disampaikan Tuhan untuk memulai proses-proses penciptaan. Akhirnya dimulailah ketujuh pangkat penjelmaan Dzat (tujuh martabat) yang disimbolisasikan ke dalam khasanah Jawa dengan Pohon Dunia, Cahaya, Cermin, Wajawa (roh Idhafi), Dian (kandil), permata (dharrah), dinding jalal (penjelmaan insan kamil).

Keberadaan Dzat Tuhan itu ibarat CERMIN YANG AMAT JERNIH atau KACAWIRANGI. Yaitu DIRI yang diliputi kekosongan yang berisi TYAS CIPTA HENING. Cermin itu tidak ada bandingannya, tidak punya rupa, warna, kosong tidak ada apa-apanya. Namun adalah kesalahan bahwa kekosongan Dzat Tuhan adalah TIDAK ADA, sebab CERMIN itu TETAP ADA.

Ki Soedjonoredjo penulis buku Wewadining Rasa mengatakan kesalahan anggapan bahwa TUHAN ITU TIDAK ADA, sebagai berikut: “Mbok menawa ana sawenehing manungso kang kliru ora percaya marang anane kang murbeng alam. Dadi ananing dhirine lan anane kang gumelar gumandhul karang kabeh, kaanggep gumandul marang suwung kang mangkono iku umpamakna nganggep suwung marang warna rupaning kaca benggela, satemah kaca benggala dipadhakake karo kothongan kang pancen suwung babar pisan. Apa iku bener?”

Wujud cermin sejati atau kacawirangi adalah “wangwung”, tidak ada apa-apa. Pantas bila orang lalu menganggapnya tidak ada sebab cermin itu terlihat begitu jernih, seperti tidak adanya rupa apapun. Tapi cermin itu tetap ada. CERMIN SEJATI ITU SATU TAPI TIDAK TERHINGGA JENIS DAN BILANGANNYA.

Orang yang hubungan MIKROKOSMOS dan MAKROKOSMOS nya masih kacau cenderung menganggap cermin itu tidak ada. Padahal, Hakikat Cermin adalah daya tunggal getar kodrat yang harmonis. Semua yang tunggal daya juga tunggal rasa. Misalnya daya tunggal yang disebut pengelihatan, itu tidak sama dengan dengan pendengaran. Daya tunggal-daya tunggal yang tiada batas jenis dan bilangannya itu dibingkai oleh keadaan sejati.

Di dalam buku Dewa Ruci (Yasadipura) terdapat inti ajaran mengenai “cermin” tersebut di atas sebagai berikut: “Badan njaba wujud kita iki, badan njero mungguwing jroing kaca, ananging dudu pangilon, pangilon jroning kalbu yeku wujud kita pribadi, cumithak jro panyipta, ngeremken pandudu, luwih gedhe barkahira, lamun janma wus gambuh ing badan batin, sasat srisa bathara”

Kisah Dewaruci ini adalah inti Sangkan Paraning Dumadi, sekaligus sebagai pengungkapan ajaran Kawulo Gusti sampai kepada jarak yang sedekat-dekatnya yang dikenal sebagai PAMORING KAWULO GUSTI atau JUMBUHING KAWULO GUSTI. Ajaran tentang sangkan paraning dumadi yang dilaksanakan sebagai pedoman hidup praktis sehari-hari, sebagaimana yang terungkap dalam buku Jati Murti itu merupakan ajaran yang mudah dipahami. Sisi praktisnya terungkap dalam pernyataan yang sering disampaikan oleh Ki Damardjati Supadjar:

“Ora perlu kabotan tresna marang daden-daden, tresnaa marang sing dadi. Nanging aja gething marang daden-daden, sebab ing kono ana sing dadi”

Pernyataan ini, kata Ki Damardjati, menjelaskan hubungan antara KEJADIAN dan YANG MENJADIKAN, atau YANG DIRASA dengan YANG MERASA. Yang menghubungkan keduanya adalah RASA. Alam semesta ini adalah yang dirasakan, bukan rasa atau yang merasakan. Yang digunakan untuk merasa ialah rasa bukan yang dirasakan atau yang merasakan. Jadi, kenyataan sejati itu bukan yang dirasakan atau bukan yang dipergunakan untuk merasa, melainkan yang merasa. Yang dirasa disebut MAKROKOSMOS, yang dipakai merasa disebut MIKROKOSMOS. Yang merasa disebut KENYATAAN SEJATI.

Di dalam hubungan ini, ada tiga kemungkinan pengalaman yaitu LUPA, INGAT dan INGATAN SEMPURNA. Lupa = larut ke yang dirasakan, tidak memperhatikan rasanya, apalagi yang merasa. Ingat = waspada tentang rasa, tidak larut ke yang dirasakan. Ingatan sempurna = waspada terhadap yang merasa, tidak larut ke rasanya apalagi yang dirasakan.

Dalam filsafat ketuhanan Jawa, hubungan Manusia dan Tuhan (Kawulo-Gusti) memiliki makna sangat mendalam. Manusia harus merasakan benar-benar bahwa dirinya adalah hamba-Nya atau KUMAWULA yang artinya dirinya merupakan cermin yang sejati, sehingga Tuhan dan bayangan-Nya sungguh-sungguh tidak terhalang oleh kotoran sedikitpun. Hal ini ditandai oleh koreksi terus menerus atas diri “aku” manusia sehingga mencapai kualitas PRAMANA.

Diungkapkan oleh Ki Damardjati, ketika rasa perasaan belum jernih, adalah rasa perasaan itu yang dianggap PRIBADI oleh si rasa perasaan. Artinya si rasa perasaan mengaku aku supaya dianggap: AKU. Jadi rasa perasaan manusia itu ternyata memang tidak bisa melihat yang meliputinya. Jadi dalam perbuatan MERASA, bahkan menghalang halangi. Karenanya, dapatnya manusia melihat terhadap yang meliputinya, tidak ada jalan lain kecuali TIDAK dengan MERASA, yaitu RASA PERASAAN KEMBALI KEPADA YANG MELIPUTI (Pribadi/Rasa Sejati). Apabila sudah tidak terhalang daya rasa perasaan, maka hanya PRIBADI yang ADA, disitulah baru mengetahui terhadapi DIA, yaitu yang MEMILIKI RASA PERASAAN, bukan RASA PERASAAN YANG DIPUNYAI.

Sultan Agung menerangkan perbedaan antara Kawulo Gusti dengan perantaraan 16 terminologi yang memperjelas hubungan antara Gusti (YANG DISEMBAH) dan Kawulo (YANG MENYEMBAH) sebagai berikut: Dzat-sifat, Rasa-pangrasa, Cipta-ripta, Yang disembah-yang menyembah, Kodrat-iradat, Qadim-baru, Sastra-gendhing, Yang Bercermin-bayangannya, Suara-gema, Lautan-ikan, Pradangga-gendhingnya, Papan Tulis-tulisannya, Manikmaya-Hyang Guru, Dalang-wayang, Busur-anak panah, Wisnu-kresna.

Dalam konteks pencapaian pribadi manusia tertinggi atau “pamungkasing dumadi” atau “sampurnaning patrap” adalah LULUHING DIRI PRIBADI, LULUHING RAOS AKU. Itulah pamungkasing dumadi, di situ lenyap tabir kenyataan yang sebenarnya.

Manusia yang sempurna dengan demikian adalah manusia yang luluhnya “aku” yang “diengkaukan” (krodomongso) digantikan dengan “aku” yang tidak mungkin diengkaukan (dudu kowe).

Hubungan antara Kawulo-Gusti ini, akan ditutup dengan pernyataan Ranggawarsita: “Sakamantyan denira angudi, widadaning ingkang saniskara, karana tan kena mleset, surasaning kang ngelmu, nora kena madayeng jangji, jangjine mung sapisan, purihen den kumpul, gusti kalawan kawula, supadine dinadak bisa umanjing, satu munggwing rimbagan” (Upaya untuk mencapai pemahaman haruslah terus menerus sepanjang hidup, agar tercapai keselamatan lahir-batin, yaitu KESESUAIAN HUKUM TUHAN, sebagai suatu janji, bahwa MANUSIA ITU WUJUD PERTEMUAN KAWULA GUSTI, artinya WAKIL TUHAN, sedemikian rupa seperti cincin permata).

Sebagai Wakil Tuhan di alam semesta, manusia telah diberi berbagai perangkat lunak sehingga dia bisa berhubungan secara langsung dan berkomunikasi dengan Tuhan sebagai GURU PALING SEJATI MANUSIA. Dalam Wirid Hidayat Jati dipaparkan ada tujuh unsur pokok penyusun diri manusia itu:

1. Hayyu (hidup) = disebut ATMA, terletak di luar DZAT
2. Nur (cahaya) = disebut PRANAWA terletak di luar Hayyu
3. Sir (Rahsa) = disebut PRAMANA terletak di luar Nur
4. Roh (Nyawa) = disebut Suksma, terletak diluar Rahsa
5. Nafs (Angkara) = letaknya di luar suksma
6. Akal (budi) =letaknya diluar nafsu
7. Jasad (badan) = letaknya di luar budi.

Keterangan: Ada keterpaduan antara unsur di atas yaitu:
• Suksma wahya = patemoning jasad lan napas
• Suksma dyatmika = patemoning napas lan budi
• Suksma lana = patemoning budi lan napsu
• Suksma mulya = patemoning napsu lan nyawa
• Suksma sajati =patemoning nyawa lan rahsa
• Suksma wasesa = patemoning rahsa lan cahya
• Suksma kawekas = patemoning cahya lan urip

Penutup:
Terdapat kesulitan memahami hakekat hubungan antara Kawulo-Gusti dalam jagad filsafat ketuhanan Jawa bila kita hanya membaca dengan kemampuan akal budi. Dalam ajaran Jawa, kita diajari untuk melakukan praktik mistik dengan kepercayaan yang benar-benar penuh sehingga terwujud harmoni dan kesatuan dengan tujuan kosmos. Ini akan membuahkan kondisi-kondisi fisik dan metafisik yang bermanfaat bagi kita semua. Tuhan bersemayam di unsur terdalam pada diri manusia sehingga “Kenalilah diri sendiri, maka kau akan mengenal Tuhanmu.”


AMALAN AJI BAYU BAJRA

Posted in AMALAN AJIAN BAYU BAJRA

“Pamuji rahayu.., monggo Ki dipun lanjut ilmunipun … kulo suwun upami mboten awrat penggalih, dipun wedar ngilmu aji maruta…, supaya saya kalu bepergian jauh ndak usah naik kendaraan Ki.. ngirit ongkos hehehe…maklum bensin mahal, aftur juga mahal…,naik piet onthel ga tekan tekan je….hehehe..kesuwen. nyuwun jembaring penggalih pangapunten.matur sembah nuwun. salam sihkatresnan, Rahayu… (Ki Hadi Wirojati, 24 October 2009).

Terima kasih saya sampaikan kepada Ki Hadi Wirojati atas komentarnya di blog ini. Sebagai rasa hormat saya kepada Beliau sekaligus untuk nguri-uri kebudayaan lokal yang kaya dimensi dan penuh dengan kearifan, maka pada kesempatan ini akan dibeber soal ilmu aji bayu bajra yang serupa dengan aji maruta.

Sekitar tahun 80-an di kawasan selatan gunung Semeru, perbatasan Kabupaten Lumajang-Malang, Jatim di hutan lindung yang lebat masih banyak menjumpai orang-orang yang memiliki ilmu Aji Bayu Bajra. Mereka pating gleber seperti burung. Hinggap (Menclok) dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Persis seperti di film-film silat. Yang membedakan adalah saat kita dekati, mereka akan menjauh dan sama sekali tidak ingin identitasnya diungkap.

Suatu ketika dalam sebuah maneges, saya menjumpai seseorang pemilik ajian bayu bajra di wilayah itu. Duduk bersila di sebuah batu besar di tengah sungai mengalir gemericik. Saya mencoba menyapanya dengan salam. Dia tidak menjawab. Baru ketika saya mencoba untuk menggunakan bahasa tubuh yang artinya bahwa saya ingin bercakap-cakap dengannya, maka dia akhirnya memberi isyarat. Jari telunjuknya ditempatkan di depan mulut. Matanya memandang santun dan lembut mata saya. Sebuah sorotan yang sejuk namun tegas dan berdaya.

Batin saya langsung membaca ini orang waskita yang tidak sembarangan: dia sedang maneges kepada Gusti. Belum sempat saya meneruskan komunikasi dengan bahasa tubuh yang lain, dia langsung meloncat ke sebuah pohon yang rimbun dan meneruskan melompat ke pohon yang lain. Hingga akhirnya hanya gerakan-gerakan dedaunannya saja yang terlihat. Orang waskita itu pun menghilang.

Saya hanya berujar: Selamat jalan, hamba Gusti Allah yang waskita ….

Orang yang bisa terbang atau meloncat dari dahan yang satu ke dahan yang lain ini bagi para leluhur tanah Jawa adalah soal yang mudah. Gaya hidup keseharian para leluhur yang dekat bahkan menyatu dengan alam membuat mereka mampu menemukan ilmu-ilmu/ajian-ajian yang beraneka rupa. Hobi para leluhur yang gentur olah rasa/batin, menggunakan ilmu titen untuk membaca fenomena alam dan gemar mempersatukan diri dengan semua jenis kekuatan (fisik dan metafisik) membuat mereka digdaya.

Para leluhur tidak perlu membeli handphone dan SMS untuk menghubungi para sedulurnya. Mereka juga tidak bisa menggunakan email atau facebook untuk saling curhat. Dari keterpisahan jarak dan waktu, mereka menggunakan kemampuan intuisi untuk saling berkomunikasi (orang sekarang menyebut telepati). Namun, bila dirasa sangat urgen untuk bertemu dengan sedulurnya, mereka akan berjalan kaki atau menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Segelintir leluhur lain yang waskita akan menggunakan ajian Sapu Jagad dan Bayu Bajra untuk bepergian jarak jauh.

Aji Bayu Bajra mensyaratkan agar penggunanya sudah memiliki kedewasaan mental spiritual. Ia haruslah orang yang sudah “berumur” dan tidak ingin menonjolkan diri lagi di depan publik. Dia sepi ing pamrih rame ing gawe. Tubuh fisiknya bisa seringan kapas karena dia tidak lagi diliputi nafsu keduniawian sedikitpun sehingga yang ada dalam hidupnya hanyalah menunggu titah-Nya saja. Jiwa yang masih “berat” condong ke dunia, mustahil memiliki ilmu ini dengan seempurna.

Para pemilik ilmu ajian ini adalah orang yang sangat pendiam. ‘Tapa meneng’ dan hanya boleh berbicara bila sangat terpaksa. Satu dua kalimat pun harus diucapkan dengan bijaksana. Yakni untuk menyampaikan ajaran-ajaran kebajikan yang menjadi tanggungjawab besarnya di dunia. Laku prihatin dan hidupnya harus bisa diteladani oleh orang yang pernah melihat dia walau hanya sekelebat.

Matra untuk matek ajian Bayu Bajra diingatnya di luar kepala. Itu mencerminkan jiwanya yang bebas seperti burung….

“Putune Bayu Bajra yo aku
Sing nduwe angkoso, Nduwe langit
Nduwe awang-awang
Aku mabur koyo manuk
Kemlebat koyo alap-alap
Mabur koyo bidho kang ora nate kesel
Mabur……burrr!!!!!!!!!!!
Maburku luwih banter tinimbang angen-angen..”

Itulah mantra yang dibaca oleh hamba Gusti Allah yang pernah saya jumpai di kawasan selatan gunung Semeru yang kini entah ada di mana.


AMALAN PENYERAP ENERGI POCONGAN

Posted in AMALAN PENYERAP POCONGAN

Orang yang meninggal namun ruhnya belum mampu menembus alam kelanggengan (alam barzakh) secara otomatis akan masuk ke alam gaib yang paling rendah. Yaitu alam yang dihuni gendruwo, jin, peri, tuyul, buto ijo, kolor ijo, kuntilanak. Ini adalah alam yang khusus diperuntukkan bagi makhluk halus yang tidak memiliki tubuh/raga tapi memiliki hasrat dan nafsu keduniawian/ nafsu untuk “memiliki”.

Badan astral si arwah yang belum masuk ke alam kelanggengan tersebut pada saat-saat khusus bisa dilihat oleh manusia. Di Jawa, orang-orang menyebutnya dengan pocongan atau hantu wedon. Ini tentu saja hal yang sangat tidak diharapkan. Sebab idealnya, arwah orang yang meninggal dunia langsung masuk ke alam barzakh yang lebih suci dari alam gaib terendah. Di alam kelanggengan, tidak ada lagi nafsu keduniawian.

Arwah tersebut menunggu hadirnya orang yang bisa menjadi ‘lantaran’ dia bisa masuk ke alam barzakh. Yaitu orang yang paham, bagaimana agar si arwah bisa menembus dimensi barzakh yang lebih halus dan tenang, damai dan mulia. Tanpa adanya orang yang membantu, maka dia akan terus berupaya dengan berbagai cara untuk mencari perhatian. Salah satunya adalah menakut-nakuti orang agar ada orang yang winasis mau untuk membantunya membuat upacara “wisuda” pelepasan; bisa masuk ke alam barzakh.

Di alam gaib terendah, arwah itu sejatinya menangis dalam kesedihan yang amat sangat. Mereka sangat tersiksa. Yang lebih repot lagi, masih ada saja orang jahat ber-ILMU HITAM yang memanfaatkan badan astral si arwah ngelambrang yang jadi hantu wedon/pocongan ini untuk keperluan mereka.

Maka waspadai bila ada orang duduk di makam orang yang sudah meninggal beberapa hari, terutama orang yang meninggal malam Jumat Kliwon. Mereka menanti kukus, asap atau hawa yang ke luar dari tanah yang sudah bersenyawa dengan mayat. Mereka akan menyedot si arwah agar ikut dengannya karena tarikan mantra yang mereka punyai. Mereka akan membaca mantra yang bunyi intinya sebagai berikut:

Niat ingsun njaluk kekuatanira
supaya cumondhok mring pribadiningsun
Asipat kandel tumraping urip,
asipat madhep tumraping pepeteng.
Sopo nyimpang keliwatan,
Sopo nyanding tan sumingkir
Sopo sing tak cedhaki, atine ajur koyo wedhak
Nyawiji… nyawiji…. Dumugi mring sihing Allah
Tumeka mring sejatining urip linuwih

Setelah diucapkan dengan penghayatan, laku dan kekuatan batin, maka arwah akan ikut menjadi “penjaga gaib” mereka. Si orang yang mengamalkan ilmu Menyerap Energi Pocongan ini akan memiliki “kelebihan” yaitu akan ditakuti orang lain. Orang lain akan gentar dan ciut nyali bila menatap matanya secara langsung sebab di arwah pocong/hantu wedon ini akan menggetarkan hati memunculkan rasa takut di hatinya. Bila ada lawan jenis, maka dia akan ‘kantil’ dan luluh hati serta akan mengikuti pemilik amalan ini bila dikehendaki.

Namun, ilmu ini jelas tidak akan mempan digunakan untuk mereka yang memiliki olah rasa/olah batin yang kuat. Ilmu hitam yang punya karakter buruk, adigang adigung adiguna akan mudah ditaklukkan dengan moral etika/perilaku yang baik dan andap asor yang lahir dari jiwa yang bersih dari nafsu angkara murka.


KITAB GARING KITAB TELES

Posted in KITAB GARING KITAB TELES

Kata “kitab garing” popular bagi mereka yang suka untuk belajar olah batin. Dalam hidup ini hendaknya kita tidak hanya belajar tentang “kitab garing” yaitu membaca dan memahami apa yang tertulis di dalam buku-buku saja. Namun hendaknya kita utamakan membaca serta menghayati apa yang ada di alam semesta dan mengenal di dalam diri manusia yang dilanjutkan dengan melaksanakan di dalam perilaku. Ini disebut “kitab teles.”

Marilah kita perdalam soal kitab ini. Di dalam ajaran agama Islam, beriman kepada kitab-kitab-Nya menduduki ranking ketiga. Ranking pertama adalah beriman kepada Allah dan ranking kedua adalah beriman kepada malaikat-Nya. Setelah itu baru beriman kepada kitab-kitabnya, dan ranking keempat adalah beriman kepada rasul-rasul-Nya, ranking kelima adalah beriman kepada Hari Akhir dan ranking terakhir keenam adalah beriman kepada takdir. Meskipun disini dikatakan ranking, namun tidak berarti ranking pertama lebih hebat dan harus didahulukan dari ranking selanjutnya. Semuanya harus diimani secara total dengan penghayatan dan perilaku yang selanjut-lanjutnya mulai ranking satu hingga terakhir karena itu sejatinya satu kesatuan.

Iman juga tidak hanya diartikan PERCAYA alias YAKIN terhadap keberadaan sesuatu. Ini tentu saja penghayatan anak kecil yang dangkal dan masih belum sempurna. Hakikat iman adalah WUJUD PENGAKUAN baik yang diucapkan maupun yang diyakini di dalam hati dan kemudian dilanjutkan dengan PERILAKU sehari-hari. Maka, iman dalam arti yang demikian adalah arti iman yang ‘HIDUP’ bukan iman yang ‘MATI’.

Keimanan yang sempurna oleh karena itu tidak hanya diucapkan di mulut saja. Kalau hanya diucapkan di mulut, para maling uang rakyat, para maling kebijakan moneter, para maling perkara pengadilan pun juga bisa melakukannya. Namun, hakikat keimanan yang sempurna pasti berbeda. IMAN SEMPURNA akan diraih ketika TELAH MENDARAH DAGING dalam PERBUATAN sehari-hari. Bisa jadi dia tidak mengucapkannya di mulut karena enggan dikatakan riya’/sombong. Namun hakikat keimanan terletak pada bagaimana kelakuan sehari-harinya. Apakah mencerminkan dengan RUKUN IMAN atau tidak. Oleh karena itu dalam kita beragama jelas membutuhkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan menerangi pemahaman-pemahaman konseptual yang selama ini telah kita miliki dan kita susun sebagai pandangan hidup.

Kembali ke tema awal yaitu tentang beriman kepada kitab-kitab-Nya. Sejak taman kanak-kanak, yang kita ketahui adalah Tuhan telah menurunkan kitab-kitab-Nya pada para rasul. Pemahaman ala anak TK ini pun masih dipermiskin lagi dengan memaknai kitab-kitab-Nya sebagai barang/benda yang berbentuk buku yang diturunkan kepada para nabi yang hidup di timur tengah. Ini jelas sebuah pemiskinan makna kitab yang sesungguhnya yang tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang beriman dan beramal sholeh.

Iman terhadap kitab-kitab-Nya jelas sebuah keharusan. Yaitu mengimani semua jenis kitab yang ada di alam semesta yang semuanya bersumber dari Yang Maha Esa. Kalau kita memperdalam lagi.. maka apa ada tulisan yang tidak merupakan kitab-kitab yang berisi sabda-sabda Tuhan di alam semesta ini? Itu sebab dikatakan bahwa semua pergelaran alam ini disebut PAPAN TANPO TULIS/SASTRA JENDRA. Jadi kita tidak boleh hanya mengimani kertas-kertas dan mensucikan teks-teks yang dibuat di pabrik-pabrik kertas. Pemberhalaan teks yang merupakan KITAB GARING tidak boleh dilakukan oleh mereka yang mengaku orang beriman. Ini sama saja dengan kita menyembah patung, uang, jabatan, kekuasaan.

Marilah kita mengkaji apa hakikat KITAB TELES itu sesuai yang tertera di dalam Al Quran, surah al-Ankabut 49: “Sebenarnya, Alquran adalah AYAT-AYAT YANG NYATA DI DALAM DADA orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim.”

Dari ayat ini, orang yang beriman diharuskan ber-Iqra tentang KITAB DI DADA. Kitab ini bukan hanya teks yang semata-mata dihafal saja namun dipahami maknanya dan diimplementasikan dalam sikap hidup dan bertindak. Inilah yang oleh kaum kebatinan jawa disebut dengan KITAB TELES. Memang, merunut ayat di atas hakikat Al Quran hanya bisa dibaca oleh orang-orang yang diberi ilmu oleh-Nya. Diberi ilmu tidak sama dengan orang yang berilmu. Bila berilmu didapat dari proses belajar, maka diberi ilmu didapat dari proses pasrah total, sumeleh, sumarah kemudian DIA memberi kita hidayah berupa ILMU.

Memahami KITAB TELES yang berupa AYAT-AYAT YANG NYATA DI DALAM DADA, apa ini artinya? Artinya kita wajib untuk membaca pergelaran alam semesta/MAKROKOSMOS yang ada di dalam diri manusia. Manusia terdiri dari berbagai unsur penyusun yang bersifat FISIK dan METAFISIK. Yang Fisik yaitu tubuh biologis kita, dan yang Metafisik yaitu tubuh eterik, CIPTA, KARSA dan RASA. Di dalam unsur yang METAFISIK itu ada catatan amal perbuatan BAIK DAN BURUK. Cara membaca kitab di dalam dada ini tidak lain kita perlu belajar tentang olah kebatinan/olah rasa/dimensi dalam/tasawuf/inner world/praktik mistik agar tersingkap tirai yang menyelubungi ketidaktahuan kita.

Apakah mendalami olah rasa/dimensi dalam/mistik/ kebatinan ini berlebih-lebihan dan sesat, bahkan klenik? Jelas tuduhan itu salah alamat, bahkan setiap individu harus mempelajarinya. Di agama manapun, praktik olah rasa ini pasti ada. Di Islam pun ada ilmu mistiknya yang disebut ilmu tasawuf selain ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu mantiq, ekonomi Islam, nahwu sharaf dan lain-lain… Ilmu tasawuf akan menerangi jiwa manusia agar selalu awas( untuk selalu mendengar dan membaca ayat-ayat-NYA), eling (mengingat dan berdzikir pada-Nya) dan waspada (dalam perbuatan/tindakan).

Inti olah kebatinan tingkat lanjut adalah mengenal “MATI SAJRONING URIP dan URIP SAJRONING LAMPUS.” Ini adalah jalan MISTIK agar kita bisa merasakan kematian pada saat tubuh fisik kita masih hidup dan merasakan KEHIDUPAN pada saat tubuh kita telah mengalami KEMATIAN. Di dalam dua alam baik alam dunia maupun alam kelanggengan/alam kubur dan dua keadaan baik tubuh kita HIDUP atau tubuh kita sudah MATI, sebenarnya KESADARAN KITA TETAP HIDUP. Kesadaran yang merupakan pancaran diri sejati (dalam bahasa agama diebut RUH) ini tetap hidup kekal dan abadi. Tidak mengenal hilang dan lenyap. Maka, yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar seseorang bisa memilih jalan kematian yang tidak sesat. Bila sesat dan tidak sempurna, maka ruh manusia akan ngelambrang ke alam gaib yang paling rendah. Memasuki alamnya setan, gendruwo, peri, wewe gombel, tuyul, buto ijo… benar-benar kasihan.

Sekarang, tinggal apakah kita beriman atau tidak terhadap kitab- kitab-Nya. Bila kita percaya, maka ada baiknya kita meneruskan laku dengan membaca KITAB TELES di dalam dada. Kita perlu membuktikan apakah diri sejati memang tidak tersentuh kematian. Sebab bila kita telusuri sejarah rukun iman sebagai berikut. Beriman kepada Allah adalah beriman kepada Dzat yang baka dan abadi, yang tidak tersentuh kematian dan tetap hidup sampai kapanpun. Dia tidak bisa ditakar dengan ukuran benda hidup atau mati, yang menciptakan tempat dan waktu.

Selanjutnya, manusia adalah wujud kehendak-Nya, wujud penjelmaan Tuhan Yang Maha Abadi. Bahkan dalam ajaran Jawa perumpamaan eksistensi Tuhan dan manusia itu seperti gula dan rasa manisnya. Lir gula lan manise ta kaki Murti smara batareng sujalma Jalma iku kabyangtane Allah kang maha agung Dira lepasira ki bayi Ya lahir ya batine Padha khaknya iku Ing jro khak jaba ya padha Dadi nora lain lahir lawan batin Iku padha kewala (Seperti gula dan rasa manisnya Hakikat Tuhan ada dalam diri manusia Manusia itu perwujudan Allah yang Maha Agung Perwujudannya lahir dan batinnya sama-sama benar batinnya benar lahirnya juga tiada perbedaan lahir dan batin itu sama)

— Kanjeng Kyai Suryajaya, Kitab Pusaka Kraton Yogyakarta, 1774.


AMALAN PATIGENI

Posted in AMALAN PATIGENI

Niat ingsun patigeni
Asirep rapet maring geni lan sinar
Aku bali maring pepeteng
Kadyo purwaning dumadi mring alam luwung
Sajroning guwo garbaning sang ibu
Sedulur papat limo pancer
Tumekaning sang jabang bayine
kakang kawah adi ari-ari,
kiblat papat limo pancer
Nyawiji mring ngarsane Gusti
Niatku patigeni

Rapal di atas adalah rapal untuk memulai laku patigeni. Patigeni adalah laku untuk mendapatkan petunjuk dan hidayah dari Allah SWT sebagaimana yang dijalani oleh para leluhur di tanah Jawa, dan dijalani langsung oleh Sunan Kalijaga.

Kenapa harus patigeni? Dalam hidup kita, terkadang kita merenungkan apakah perjalanan hidup yang kita jalani ini sudah sesuai dengan karep/kehendak-Nya. Atau justeru sebaliknya, kita merasa bahwa selama ini kita menjalani hidup atas dasar kehendak kita sendiri. Kita seperti terlempar ke dunia tanpa pegangan hidup yang pasti.

Agama yang telah kita anut semenjak kecil pun terasa hampa karena hanya dipahami dari segi syariat, aturan, hukum yang terasa kehilangan “jiwa” atau “ruh” agama. Agama (dalam pemahaman kita yang sempit) kadang juga kita rasakan tidak mampu menyediakan jawaban-jawaban bagi masalah hidup sehari-hari yang semakin kompleks. Mental kita sudah tidak bersih lagi. Jalur ruhani kita sudah tidak terhubung dengan jalur ruhani alam semesta. Hidup kita terasa mengambang dan sesak oleh nafsu dan angkara murka.

Untuk mengembalikan jati diri kita sebagai makhluk yang religius, selaras dan serasi dengan dunia batin dan dunia lahir, atau alam semesta metafisik dan fisik sehingga nanti kita mendapatkan anugerah dari Tuhan berupa rasa dekat, rasa tenang, tenteram, sumeleh dan sumarah, polos, jujur, apa adanya serta bebas dari belenggu problem yang menghimpit maka para leluhur menyarankan agar kita melakoni PATIGENI. Yaitu laku/amalan tidak menggunakan “geni” atau api selama tiga hari.

Laku PATIGENI memiliki falsafah yang sangat mendalam. Yaitu mematikan unsur API di dalam tubuh metafisik/psikis/badan astral dan fisik kita. Unsur API adalah unsur Iblis yang membawa manusia pada nafsu-nafsu negatif seperti AMARAH, BENCI, IRI, DENGKI, INGIN MEMILIKI DAN MENGUASAI, MENGALAHKAN, MENAKLUKKAN, bahkan MEMBUNUH. Unsur API yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia akan mengakibatkan dia masuk ke dalam NAAR (NERAKA).

Laku patigeni lebih terasa khusyuk dan meditatif kalau kita lakukan di tempat-tempat yang sunyi dan sepi. Misalnya di dalam gua yang benar-benar gelap tidak ada cahaya yang masuk. Atau di dalam kamar yang sangat gelap hingga tidak ada cahaya yang menerobos ke dalamnya. Sebelum melakukan patigeni, kita diminta untuk mandi hingga bersih dan memakai pakaian yang bersih. Akan lebih baik bila kita mandi dengan air kembang setaman dan ditambah dengan wewangian yang semerbak. Niat juga ditata untuk melakukan pembersihan diri.

Selanjutnya, mulai untuk memasuki kamar atau gua yang telah dipilih sebelumnya. Seluruh lampu/cahaya yang masih ada dimatikan. Kita berada di dalam gelap seperti di alam suwung dan tidak melakukan aktivitas apapun selama tiga hari tiga malam. Tidak makan dan tidak minum. Posisi badan duduk semedi, kalau capek bisa bersandar atau dalam posisi berbaring.

Selanjutnya bacalah rapal yang ada di awal kalimat tadi…..

Fokus pikiran hanya tertuju pada Tuhan Yang Maha Esa. Mengamati jalan masuk dan keluarnya nafas. Saat menarik nafas katakan Hu dalam hati.. saat mengeluarkan nafas mengatakan Allah.

Tiga hari tiga malam, misalnya dimulai pada jam 00.00 WIB dan tiga hari kemudian tepat pukul 00.00 WIB laku itu dihentikan. Selama itu, kita hanya manembah kepada Gusti Allah. Tidak berkomunikasi dengan siapapun kecuali dengan DIRI SEJATI yang terletak di dalam lapisan diri yang paling dalam. Di sanalah nanti kita nanti akan merasakan PANCARAN DIRI TUHAN KE DALAM DIRI MANUSIA.

Apabila dilakukan dengan ikhlas, pasrah dan sumeleh tidak mengharapkan atau mentargetkan apa-apa, maka kita akan benar-benar merasakan seluruh diri kita adalah bagian dari eksistensi Gusti Allah. Petunjuk-Nya yang jelas akan kita dapatkan sehingga kita mampu selalu BERKOMUNIKASI dengan-Nya dimanapun kita berada.

Inilah MODAL TERBESAR hidup manusia, yaitu YAKIN YANG SEYAKIN YAKINNYA BAHWA DIRI KITA SELALU MENDAPATKAN PEMBELAJARAN DARI GURU SEJATI (TUHAN) SECARA LANGSUNG. Dan setelah laku patigeni selesai, kita akan merasakan momentum saat kita terlahir kembali ke dunia ini. Suci seperti bayi yang baru saja dilahirkan dari rahim ibu ke rahim alam semesta.


CARA MEMPERLUAS DUNIA

Posted in CARA MEMPERLUAS DUNIA

Dunia setiap orang berbeda-beda. Ada yang “luas” namun ada pula yang “sempit”. Semuanya tergantung pilihan.

Kita sering melewatkan kata “dunia” ini, seakan kita sudah tahu artinya secara benar. Biasanya kita mengartikan “dunia” dengan bumi dan planet, dan jagad raya seisinya. Namun benarkan makna dunia memang seperti itu?

Mengartikan dunia yang seperti itu konon terlalu sempit dan dangkal. Dunia tidak bisa disamakan dengan benda-benda fisik atau tempat beradanya benda-benda fisik. Dunia juga bukan lawan dari akhirat, sebagaimana biasa dipahami oleh kaum agamawan. Kalau dunia dipahami seperti itu, maka akan terjadi kekacauan bila nanti kita diharapkan pada masalah-masalah ketuhanan yang metafisik.

Sering kita mengamati betapa ada seseorang yang merasa bahwa dunia ini sangat luas. Namun ada juga seseorang yang merasa bahwa dunia ini terlalu sempit. Merenungkan hasil pengamatan itu, tidak salah bila dikatakan bahwa sesungguhnya dunia setiap orang itu berbeda-beda “luas dan ukurannya.”

Jadi, dunia bukanlah sebuah hal yang obyektif yang keluasannya bisa diukur dengan meteran. Dunia adalah sesuatu yang sangat subyektif. “Besar kecilnya” dunia, “indah buruknya” dunia semua tergantung pada masing-masing orang. Ada seorang bos kenalan saya yang setiap hari glebar-gleber ke luar negeri. Dari Jepang, langsung ke Italia. Dari Italia menuju Amerika mampir dulu di Inggris. Perjalanan keliling dunia dilakukan dalam hitungan jam. Suatu hari dia mengatakan kepada saya; “ndonyo saiki sempit,” ujarnya dengan mimik serius.

Bagi Cheng Hoo, Colombus, Marco Polo, dan lain-lain dunia mungkin dianggap sebuah wilayah yang sangat luas dan menggairahkan. Sedemikian luasnya hingga dia merasa perlu membuktikan kebenaran keyakinan tersebut. Juga bagi saya yang belum pernah sekalipun ke luar negeri, dunia adalah luas. Karena saya belum kemana-mana, jadi ya merasa bahwa dunia adalah wilayah yang belum sepenuhnya berhasil saya petakan di ingatan. Jadi bagi saya, dunia adalah sebuah wilayah yang belum dikenal (terra in cognita)

Meskipun pemahaman masing-masing orang tentang istilah dunia itu tidak simetris dan sama, namun kebanyakan kita meyakini bahwa dunia adalah sesuatu yang lebih bersifat psikologis dan filosofis dibanding yang fisis. Hampir semua sepakat bahwa setiap manusia memiliki cara pandang terhadap makna dunia yang berbeda-beda. Dan mengartikan makna dunia dalam frame sebuah cara pandang tentu saja lebih memberikan arti dan nilai yang lebih daripada sekedar mengartikan dunia sebagai “bumi dan seisinya”.

Dalam khasanah ilmu pengetahuan, makna dunia ternyata juga kebanyakan merujuk sebagai cara pandang. Orang jerman mengartikan pandangan dunia dengan istilah weltanschauung: (welt : dunia dan anschauung : persepsi), berarti persepsi tentang dunia. Di Italia digunakan istilah “konsepsi tentang dunia”, di Perancis kata “weltanschauung” dipinjam dan diartikan dengan “pandangan metafisis tentang dunia dan konsepsi kehidupan”, di Rusia disebut “mirovozzrenie” berarti pandangan dunia.

Dan semua setuju bahwa kata “worldview” harus diikat oleh predikat kultural, religius, ataupun saintifik. Jadilah, misalnya istilah Christian Worldview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern worldview dan the Worldview of Islam. Semua mempunyai cara pandang dunia yang ekslusif. Tapi semua orang tahu disitu bahwa dunia adalah sebuah cara pandang yang sifatnya subyektif.

Banyak lapisan makna didalam pandangan dunia (worldview). Membahas “worldview” seperti berlayar kelautan tak bertepi (journey into landless-sea) kata Nietsche. Meskipun begitu di Barat, dunia tetap hanya dibatasi sejauh jangkauan panca indera. Luasnya worldview bagi Kant, Hegel dan juga Goethe, hanya sebatas dunia inderawi (mundus sensibilis).Tapi bagi Shaykh Atif al-Zayn bukan luasnya yang penting, tapi darimana ia bermula, maka worldview adalah tempat bermula. Disitu dapat diketahui spektrum makna worldview. Sedangkan worldview bagi kaum waskita dan winasis pasti tidak sesempit luasnya lautan dalam planet bumi, tapi seluas skala wujud.

Nah, pandangan dunia yang mana sekarang yang kita pilih? Apakah mengartikan dunia dalam sebuah tempat yang sempit, ataukah cara pandang yang skala luasnya meliputi yang berwujud/ berada? Bila kita mengartikan dunia dalam arti yang pertama maka kita perlu bersiap untuk memasuki sebuah tempat yang sumpek dan pengap. Namun mengartikan dunia dalam arti yang kedua akan memberikan sebuah keluasan dan kelonggaran.

Dalam hidup di “dunia” ini akan lebih bijaksana kita merangkum pandangan dunia dengan cara menggunakan RASA SEJATI. Rasa sejati adalah alat epistemologis paling hakiki yang dimiliki manusia untuk memetakan sangkan paraning dumadi ini. Maka, manusia tidak bisa hanya menggunakan panca indera dan akal untuk memetakan kehidupannya dan bila ini yang terjadi maka manusia akan tercebur dalam ruang psikologis yang sempit. Dengan menggunakan RASA SEJATI YANG MELINGKUPI DIRI SEJATI MAKA SKALA UKURAN “DUNIA” MENJADI BEGITU LUAS TIDAK TERUKUR.

Bagaimana memperluas dunia? Di atas telah dijelaskan bahwa dengan menggunakan rasa sejati, maka dunia terasa begitu indah dan luas. Kita memandang manusia sebagai sahabat, bukan musuh. Kita memandang alam semesta sebagai satu kesatuan wujud ruh yang satu sehingga tidak ada kata lain selain harus menjaga, melindungi, menyayangi. Menyakiti satu unsur ruh, hakikatnya sama dengan menyakiti diri sendiri.

Ada cara yang paling mudah untuk semakin memperluas “ukuran” dunia rasa sejati ini. Yaitu dengan beramal. Beramal adalah mendermakan tenaga, doa, harta benda, uang, makanan minuman. Kepada siapapun, apakah itu kepada teman, sahabat, kerabat, saudara, tetangga, sedulur, atau bahkan orang yang tidak dikenal maka dermakanlah apa yang kita punya. Di sinilah kita juga dituntut untuk memiliki pemahaman bahwa arti MEMILIKI BUKAN TERLETAK PADA SEBERAPA BANYAK KITA MENGUMPULKAN SESUATU, NAMUN TERLETAK PADA SEBERAPA BANYAK KITA MEMBERI.

Derma atau amal akan memperbanyak sahabat dan saudara. Yang awalnya membenci dan memusuhi kita pun akhirnya bisa melembut dan menjadikan kita teman. Betapa nikmat hidup ini bila kemana pun kita bepergian akan berjumpa dengan sahabat, rekan atau saudara. Maka, dunia kita terasa begitu luas dan nyaman.

Ini tentu saja berbeda bila kemana-mana kita menganggap orang lain sebagai “musuh”, “penjahat”, “maling” yang akan menggerogoti harta benda kita. Orang yang seperti ini dunianya sangat sempit dan akhirnya kelak jika sudah meninggal, bumi pun enggan menerima jasadnya. Akhirnya kita bisa menyimpulkan. Bahwa ukuran dunia bagi Hitler dan Budha pasti berbeda. Berbeda pula luasnya antara dunia Muhammad SAW dengan dunia Westerling. Bagaimana dengan luasnya dunia Anda ????***


MENCARI GURU SEJATI (2)

Posted in MENCARI GURU SEJATI 2

pelatihan5Dengan Guru Sejati, kita mampu membaca secara mendalam dan menyeluruh apa hakikat segala sesuatu termasuk bencana alam.

Hari Kedua, Jumat Malam: Saya bertemu dengan Ki Sabda Langit di Gedung Hotel Orchids Garden, Batu Malang. Jam menunjuk pukul 19.00 Wib. Sejak pagi saya bersama dia berkoordinasi tentang persiapan-persiapan yang diperlukan untuk perhelatan pelatihan yang akan dibuka oleh Bupati Sidoarjo. Malam yang mendebarkan itu pun datang. Acara pelatihan Pengembangan Motivasi Spiritual dibuka dengan sambutan Drs. H. Win Hendrarso M.Si. Sambutan Bupati menggarisbawahi pentingnya manajemen stress dan pentingnya hidup dalam keseimbangan jasmani dan ruhani.

Selanjutnya, pelatihan dimulai dengan diputarkannya kaset sebuah serat kidung “Serat Wedhatama” dari Ki Narto Sabdo. Bulu kuduk saya berdiri mendengarkan suara magis yang dilantunkan. Bisik-bisik dengan Ki Sabda Langit, dia mengatakan bahwa saat itu Kanjeng Ratu Kidul juga hadir di tempat itu. Menurut Ki Sabda Langit, akal manusia sangat terbatas untuk memasuki pemahaman tentang hakikat segala yang ada. Manusia dikuasai oleh nafsu jasadnya sehingga susah untuk mengenali diri sejatinya. Kini, seseorang kebanyakan beribadah, namun belum mampu menembus hakikat ibadah tersebut. Pemahaman agamanya masih sebatas syariat. Oleh sebab itu, kita haruslah meneruskan proses syariat itu agar mencapai taraf hakikat dan bisa mencicipi makrifat.

Ki Sabda melanjutkan ada empat tingkat ibadah manusia untuk manembah dengan Gusti Allah SWT. Yang pertama adalah SEMBAH RAGA yaitu tapaning badan jasad kita. Yang kedua SEMBAH CIPTA, di Islam dinamai Tarekat, sembahnya hati yang luhur. Yang ketiga SEMBAH JIWA. di Islam dinamai Hakekat. Kalau sudah bisa melaksanakan sembah cipta baru bisa melaksanakan sembah jiwa. Artinya: rasakan dengan menggunakan rasa “kasukman” yang bisa ditemui dalam eneng, ening dan eling tadi. Tandanya adalah semua sembah, panembah batin yang tulus tidak tercampuri oleh rasa lahir sama sekali. Yang keempat adalah SEMBAH RASA, di Islam dinamai Makrifat. Sembah rasa itu adalah mengalami Rasa Sejati. Rasa sejati adalah apa yang dirasakan diri sejati dan diri sejati yang merupakan wahana Tuhan bersemayam di dalam diri manusia. Maka, pada tingkat makrifat ini, segala perilaku kita akan dituntun oleh Guru Sejati.

Hari Ketiga, Sabtu pagi: Saya mengontak Ki Sabda Langit agar bersiap senam pagi dilanjutkan dengan latihan meditasi olah pernafasan tenaga dalam dan meditasi samadhi. Bertempat di alam terbuka, sebelah kolam renang lobby Hotel Orchids Garden, Batu Malang. Awalnya, peserta diajak berjalan mengelilingi hotel. Selanjutnya peserta berkumpul dan dilakukan peregangan otot sambil menarik nafas dari hidung dan mengeluarkannya melalui mulut. Untuk meditasi samadhi, peserta bersila dalam posisi meditasi. Tangan berada di atas pangkuan menengadah ke atas dengan jempol disatukan dengan jari telunjuk. Selanjutnya tarik nafas dan mengeluarkan melalui mulut. “Konsentrasi pada satu hal saja. Misalnya pada Tuhan, saat menarik nafas kita bilang hu… saat mengeluarkan nafas, kita bilang Allah.. Inlah sholat Daim.” Ujar Ki Sabda.

Peregangan, meditasi olah pernafasan tenaga dalam dan meditasi samadhi dilaksanakan sekitar satu jam. Peserta merasakan banyak manfaat mengikuti sesi pagi ini. Banyak yang mengaku awalnya sakit dan capek-capek justeru menjadi bugar setelah mengikuti meditasi pernafasan tahap awal ini. Acara selanjutnya adalah pemberian materi. Dipaparkan Ki Sabda bahwa ada beberapa tahap sebelum pikiran benar-benar bisa merasakan titik yang paling hening tempat kesadaran diri sejati berada. Dimulai saat gelombang otak kita memasuki fase gelombang gamma, alta, teta, delta… dan akhirnya aktivitas biolistrik di otak benar-benar bergelombang paling rendah. Saat di gelombang terendah itulah “kita ini seperti tidur namun kita sebenarnya sadar penuh. Kita bisa mendengar dengkuran sendiri. Kita bisa melihat diri sejati kita yang sama persis dengan kita.” Ujar Ki sabda.

Masih banyak materi pelatihan yang menarik namun tidak bisa dipaparkan di kesempatan kali ini. Seperti, kunci agar doa bisa dikabulkan Tuhan. “Kita berdoa tidak seperti kita pesan makanan di restoran fastfood. Pesan langsung diantar. Ini doa yang sok tahu, sebab apa kita tahu bahwa keinginan kita ini lebih bagus dari keinginan Tuhan pada kita. Kita perlu pahami bahwa Tuhan bekerja dengan cara-cara yang misterius…” Acara disela dengan coffre break, sambil menunggu peserta yang ada di luar, peserta mendapatkan terapi pengobatan tenaga dalam dari K Sabda Langit. Banyak peserta mendapatkan penanganan langsung dari sang master. Sementara Nyai Untari melayani konsultasi nasib, peruntungan dan lain-lain. Nyai Untari sejak kecil memiliki bakat khusus dan talenta. “Saya ini tergolong indigo sejak anak-anak. Sejak kecil bisa melihat makhluk halus, dan peruntuntan nasib seseorang. Ini kemampuan dari Tuhan jadi harus saya syukuri agar bermanfaat untuk orang lain,” ungkap Nyai Untari. Acara dilanjutkan.

Ki Sabda mengatakan bahwa kita harusnya memperbanyak rasa sukur pada Gusti yang Maha Welas Asih. “Perbanyaklah bersyukur. Apa kita bisa menghitung pemberian Tuhan perdetik saja yang begitu banyak… Otak kita, udara, nafas, denyut nadi, tubuh semuanya bekerja normal. Belum lagi keluarga, saudara, teman yang sehat, silaturahim dan lain-lain… Perdetik ini… coba hitung berapa banyak pemberian-Nya?” Ki Sabda mengingatkan untuk mencapai keluhuran hidup dan kejayaan pasti ada tebusannya. Tidak ada yang gratis di dunia ini. “Laku prihatin harus dilakukan agar kita bisa mencapai kejayaan. Kini bangsa kita sedang krisis di segala bidang. Bencana ada dimana-mana. Inilah hakikat bencana, yaitu momentum laku prihatin yang nanti pasti ada tebusannya. Yaitu kejayaan bangsa,” ujar Ki Sabda Langit optimis.

Akhirnya, Sabtu siang pukul 12.00 WIB acara diakhiri. Peserta dan panitia sudah mendapatkan banyak ilmu dari dua trainer yang waskita dari Yogyakarta ini. Kami pun berpamitan. Saya pulang ke Sidoarjo bersama rombongan keluarga besar Pemkab Sioarjo dan Ki Sabda Langit-Nyai Untari pamit pulang ke Yogya melewati Kediri. Terima kasih Ki dan Nyai, selamat jalan dan dari panjenengan berdua kami mendapatkan input yang berharga untuk mengenali diri sejati yang merupakan guru sejati masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar