KENAPA TUHAN HANYA SATU?
Apa bukti bahwa Tuhan itu hanya satu? Sangat mudah membuktikan. Sebab bukti itu ada di depan mata dan bisa dirasakan berapa jumlah tuhan. Yaitu harmoni antar semua unsur alam dan tidak ada satupun yang saling bertentangan. Bumi beredar pada orbit yang telah ditentukan, begitu bulan dan planet-planet, bintang-bintang, galaksi-galaksi, supra galaksis-supra galaksi… semua berputar pada orbitnya. Singa memakan kancil, kancil memakan rumput, semut memakan remah-remah. Ada pagi ada malam, ada siang ada sore, ada cinta ada benci, ada susah ada senang. Harmoninya alam semesta dan semua unsur yang mengisi alam semesta ini sungguh sangat luar biasa karena mengikuti satu hukum Tuhan. Hukum Tuhan selalu tetap. Kecuali bila Tuhan memiliki rencana lain, yang itu merupakan hak prerogatifnya. Bayangkan bagaimana jadinya bila Tuhan itu banyak? Maka antara satu hukum dengan hukumnya bisa jadi saling bertentangan. Planet satu dengan planet yang lain bisa jadi tabrakan, bentuk planet satu dengan yang lain akan beda karena keinginan masing masing Tuhan itu juga beda. Ada yang bulat ada yang kotak, lonjong, jajaran genjang, trapesium dan lain-lain. Wah…. pasti membingungkan. Selain itu, marilah kita membuka buku biologi tentang bagaimana luar biasanya sel-sel dalam tubuh manusia bekerja. Mekanisme yang sungguh membuat kita geleng-geleng kepala karena mengetahui bahwa Tuhan sangat perduli akan akurasi dan ketepatan hubungan antar sel, dan seterusnya dan seterusnya. Akhirnya, kita bisa menyimpulkan: Tuhan ternyata hanya satu. Tuhan menjadi fokus hidup manusia dan seluruh makhluk di alam semesta. Totalitas manusia dan seluruh ciptaan-Nya untuk mengahkan orientasi hidup akan membawa manfaat yang luar biasa. Manfaat yang paling sederhana adalah hidup manusia menjadi harmoni dengan kehendak Tuhan Sang Pencipta. Hidup manusia tidak akan bertentangan dengan hukum Tuhan. Dan Tuhan juga tidak tinggal diam dan pasif melihat serta mendengar manusia-manusia yang sudah selaras dengan hukum yang telah digariskan ini. “Berjalanlah mendekat satu kilometer ke arahku, maka aku akan mendekatimu dalam jarak satu meter… Berjalanlah satu meter ke arahku, maka aku akan mendekatimu lebih dekat dengan urat lehermu. Bahkan aku adalah mata, telinga dan hidungmu sendiri. Bila kamu berusaha untuk mencintai aku, maka aku akan berusaha untuk mencintaimu. Cintaku kepadamu bukanlah cinta gombal yang usang dimakan usia. Cintaku kepadamu akan abadi sepanjang masa dan tidak akan pernah berubah….” begitu kata Tuhan. Bila kita sudah hidup sesuai dengan hukum Tuhan, tidak ada alasan bagi kita untuk diam, berpangku tangan. Hukum Tuhan berbunyi bahwa setiap sel yang ada di alam semesta ini bergerak dinamis, termasuk sel yang ada di otak kita. Maka kita akan menemukan diri kita sebagai manusia baru, dengan pikiran-pikiran yang cemerlang yang berorientasi pada keabadian.Dekatnya Tuhan
Tuhan sangat dekat bahkan lebih dekat dari rasa dekat. Demikian salah satu petuah bijak dari langit. Kedekatan rasa dengan Tuhan ini bisa dicapai manakala kita berjalan mentaati anjuranNya; berbuat baik, membantu yang membutuhkan, memberi manfaat pada dunia dan tidak merusak tatanan dan hukum alam semesta.Rasa yang dekat dengan Tuhan, itulah yang sesungguhnya dicari dalam setiap pergerakan makhluk hidup, termasuk manusia. Beruntunglah kita, manusia biasa yang memiliki otak untuk berpikir tentang hakekat kedekatan ini. Makluk hidup yang lain tidak mampu melongok apa arti dan hakekat kedekatan dengan Tuhan. Bagi mereka, kedekatan sama artinya dengan hidup itu sendiri. Itu sebabnya, mereka tidak mengenal surga atau neraka dan tidak perlu diadili di akhirat.
Manusia? Ya jelas harus dekat dengan Tuhan. Apabila tidak, maka bersiaplah untuk terlempar ke dalam dunia yang tanpa petunjuk. Hidup yang tanpa arah dan tujuan yang jelas dunia dan akhirat, adalah sebuah kehidupan yang getir, pahit dan meranggas. Namun ada pula manusia yang beranggapan bahwa mendekati Tuhan sama artinya dengan menjauhi kebebasan. Kebebasan, kata mereka, adalah sebuah situasi dimana manusia bisa berkreasi mengukir hidupnya tanpa harus dibatasi oleh petunjuk dan aturan Tuhan. Sayangnya, ini akan membuat manusia terjebak dalam dogmatisme yang kaku dan buta, yang tentu saja jauh dari garis edar Tuhan.
Sayangnya, kelompok manusia yang seperti ini kurang lanjut dan panjang dalam memaknai kebebasan. Kebebasan yang sejati sesungguhnya adalah sebuah ketaatan untuk berjuang menegakkan hukum dan garis Tuhan di alam semesta. Kebebasan yang mutlak bisa dicapai bila kita berjalan di jalan yang abadi dan mutlak pula. Bila kita masih mengandalkan tapak kaki di jalan yang sementara-sementara, di terminal-terminal spiritual yang tidak sampai ke hakekat kebebasan sejati, maka kita harus bersiap untuk memasuki hidup yang gelap dan bengis.
Manusia yang dekat dengan Tuhan berarti mereka sadar bahwa hidup adalah perjalanan menuju keabadian. Boleh disebut, hidup di dunia ini hanya satu titik dari garis panjang perjalanan hidup menempuh satu planet ke planet yang jauhnya tidak bisa diukur. Berapa panjang hidup manusia sesungguhnya? Tidak ada yang mengerti kecuali Tuhan yang serba mengetahui semua rahasia.
Dekatnya kita dengan Tuhan bukanlah kedekatan yang bisa diukur dengan menggunakan penggaris. Kedekatan itu bukanlah diukur dengan satuan ukuran fisika, mili, centi, meter, kilometer dan seterusnya. Kedekatan adalah sebuah penghayatan bahwa kita ini sedang bercengkrama, selalu berkomunikasi di setiap detak jantung dan berada di “pelukan” Tuhan. Rasanya? Setiap individu akan mengalami rasa yang berbeda-beda bila dekat dengan Tuhan. Lidah kita akan mengatakan manis saat merasakan permen, namun sensasi selanjutnya dari manisnya permen tentu berbeda-beda pula komentarnya.
Bagaimana cara bila ingin dekat dengan Tuhan? Tidak ada hal yang lebih mudah untuk mendekati Tuhan. Lebih mudah dari membalik telapak tangan kita. Sebab kedekatanNya tiada berjarak dengan pengetahuan kita. Di tingkat syariat: kedekatan itu masih perlu dipikirkan. Di tingkat hakekat: kedekatan masih perlu didzikirkan. Di tingkat makrifat: kedekatan hanyalah dialami dan tidak perlu dipikirkan dan didzikirkan lagi. Aku adalah Aku!
Mencintai Tuhan sebagai Sang Kekasih
Marilah kita bersama-sama merenungkan sebuah hal yang sangat sederhana ini. Yakni saat kita mencintai seseorang, katakanlah si X. Kenapa kita mencintai si X? Banyak sebabnya, dan yang jelas kita biasanya hanya ingat urutan proses-proses kita mencintai seseorang.
Bermula dari kenalan, lalu berdialog/berdiskusi/berbincang bincang dan selanjutnya timbul dari hati perasaan mencintai/memiliki/menjaga dan seterusnya. Ada perasaan hilang saat dia tidak ada disamping kita. Dan kita selalu ingin ketemu untuk sebuah perjumpaan. Kita juga merasa termotivasi, bergairah dan kuat untuk hidup.
Kehadiran oleh karenanya sangat penting bagi kita. Tanpa kita tahu kenapa bila dia ada disamping kita, kita merasa tenteram dan damai. Hmmm…. Cinta memang indah dan menyenangkan. Itu pula sebab kenapa setiap orang membutuhkan cinta. Mencintai dan juga dicintai adalah kebutuhan primer manusia. Siapa bilang manusia hanya butuh sandang, pangan dan papan untuk hidup? Mari kita renungkan…..
Kebutuhan untuk dihargai sebagai manusia biasa, kebutuhan akan kehangatan hubungan antar manusia, kebutuhan untuk berkomunikasi dengan sesama, kebutuhan untuk bekerja, kebutuhan untuk menjadi diri sendiri, kebutuhan untuk merdeka dan bebas dari ancaman, kebutuhan untuk mencintai… adalah kebutuhan primer juga. Sebab tanpa itu semua, kita jelas tidak bisa hidup. Paling banter bisa hidup secara fisik dalam jangka waktu yang tidak lama.
Ya, manusia butuh untuk mencintai dan dicintai oleh manusia dan tentu saja oleh Sang Pencipta yaitu Tuhan. Kenapa butuh mencintai dan dicintai Tuhan? Sebab kita ini ciptaan-Nya yang butuh petunjuk untuk hidup yang baik dan benar. Apakah ada manusia yang tidak butuh petunjuk? Saya kira tidak ada karena sudah kodrat sejak awal manusia itu memiliki hasrat untuk mencari siapa sejatinya Si Pencipta Manusia yang tidak lain adalah Tuhan.
Sangat bijaksana pada akhirnya kita beranggapan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya Kekasih. Cinta Tuhan kepada kita tidak pernah lekang oleh panas dan tidak pernak lapuk oleh hujan. Cinta Tuhan kepada kita bebas tendensi apapun kecuali ingin agar manusia menetapi janjinya. Janji manusia kepada Tuhan kepada manusia sangat jelas: yaitu untuk beribadah, melakoni jalan-Nya dan menuruti semua perintah serta petunjuk-Nya.
Bagaimana cara kita mencintai Tuhan? Sangat mudah dan tidak perlu berbelit-belit. Prosesnya kira-kira seperti kita mencintai manusia: Kenalan, dialog intens, bertemu, dan bercinta. Praktis dan hasilnya? Mencintai Sumber dari segala sumber cinta adalah sebuah keputusan yang akan membuat hidup kita berubah total 180 derajat.
Semoga kita semua selalu diberkahi Tuhan dengan petunjuk untuk kembali ke jalan yang terang. Terima kasih.
TUHAN ITU AKU TAPI AKU BUKAN TUHAN
Mau urun rembuk para kadang blog ingkan sugih ngelmu lan winasis…Meneruskan diskusi tentang Tuhan ,…. Yang pertama yang perlu digarisbawahi adalah: Tuhan adalah Tuhan. Tuhan bebas definisi, karena yang dinamakan definisi adalah pembatasan bahasa manusia. Tuhan Yang Tidak Terdefinisikan tersebut adalah “Das Umgreifende” (Karl Jaspers) yang berada di luar sekaligus di dalam batas-batas kesadaran –yang berawal dari pengalaman indera, rasio budi manusia itu sendiri. Ia bisa dialami dengan semua alat epistemologis manusia, Insya Allah…
Okelah, kita semua sepakat bahwa Tuhan adalah Causa Prima (Aristoteles), sebab yang tidak disebabkan lagi, sebuah asas Tunggal yang paling awal sebagai “dasar” dimana semua bergantung –Dia adalah substansi, esensi, hakekat: (sub — stare: berada di “bawah” sebagai dasar kenyataan). Ini, menurut saya, hanyalah setetes bahasa manusia dari samudera Ketuhanan yang bisa dicerap oleh akal budi manusia. Ide tentang Tuhan ini tak akan pernah selesai untuk dibahasakan, dirumuskan, dihayati.
Tuhan pada dirinya sendiri (das Ding an Sich) bukanlah Tuhan yang tertutup oleh tembok pengetahuan sekaligus kesadaran manusia, lho. Tuhan sangat terbuka untuk diketahui oleh setiap Makhluk (das Ding fur Mich) atau ada untuk diriku. Tuhan tidak misterius seperti maling yang menghilang setelah dia meninggalkan jejak karya. Lihatlah dengan kesadaran langit dan lautan…. itulah karya Tuhan, lihatlah si kere dan gila di ujung gang becek… itulah karya Tuhan, lihatlah anjing kotor busuk…itulah karya Tuhan… Karya Tuhan ada dimana-mana dan kapanpun kita selalu melihat-Nya. Ingat Tuhan tidak pemalu seperti manusia yang malu-maluin lho!
Apakah perlu mempertanyakan bagaimana wujud Tuhan? Wujud bukanlah dzat sebagaimana ilmu kimia mendefinisikan dzat cair, padat dan uap. Tuhan ya Tuhan. Dia tidak perlu ditanyakan wujudnya seperti apa. Karena Tuhan sudah jelas dengan sendirinya…(Seperti kita melihat mata kita sendiri dan dia tidak berjarak dengan kita?) maka Dia Jelas tanpa hijab apapun dan justeru karena kita menumpuk-numpuk pengetahuan yang salah maka akhirnya kita terpenjara oleh pengetahuan kita sendiri. Lantas apakah ada beda antara Tuhan sebagai Sang Pencipta dengan Makluk sebagai Ciptaan-Nya? Tidak ada dualisme. Tuhan adalah segala-galanya, yang awal yang akhir, yang dhohir dan yang batin. Yang dhohir bisa dilihat dengan panca indera sebagaimana yang tadi telah disampaikan. Yang batin bisa dirasakan eksistensinya. Tuhan dan alam semesta, Pencipta dan Ciptaan itu satu. Satu untuk semua–semua untuk satu.
Maka, pada satu terminal pencarian dan laku spiritual akan sangat bijaksana bila kita mengadakan revolusi cara berpikir kita. Sehingga cukup beralasan untuk berhenti beranggapan bahwa Tuhan yang jauh di langit ketujuh yang jaraknya ratusan bahkan ribuan triliun kilometer di atas sana. Tuhan itu ya berada dimana-mana dan tidak kemana-mana (dalam ruang dan waktu) oleh sebab itu kita semua inilah Tuhan. Biarlah Tuhan saja yang mencari dan melihat kita karena kita adalah Tuhan juga. Alhamdulillah…Ini sekaligus untuk memberi jawaban yang menanyakan apakah Tuhan berwujud kongkret dan bisa disaksikan dengan mata wadag. Jawabannya jelas. Yaitu bahwa Tuhan bisa dilihat dengan mata wadag manusia dan juga bisa dirasakan (kata Mas sabda: analoginya seperti getaran setrum listrik). Bukankah kita semua detik ini sedang berhadapan dan melihat Tuhan? dan seterusnya-dan seterusnya….
*(Hmmm…ini juga mendefinisikan Tuhan juga lho, jadi mohon dikoreksi karena saya juga terjebak juga untuk mendefinisikan Tuhan secara serampangan)
“Saving Madness.. drawing near to God” begitu Plato pernah bilang saat menyaksikan orang gila pada suatu pagi. Kegilaan yang dimaksud beliau pasti bukan hilangnya kesadaran, melainkan sebaliknya sebuah kesadaran yang sudah tertinggi dan paripurna. Kesadaran menerobos tembus (Taddabbur) Ilahi..Benar Mas Sabda. Melihat Tuhan tidak sama dengan melihat obyek yang berada di luar diri kita sebagai subyek. Sebab Tuhan itu Mata, Telinga, Mulut kita sendiri. Bagaimana kita bisa melihat mata mulut dan telinga kita sendiri?? pasti dengan kaca, refleksi dan CITRA. Maka manusia butuh CITRA ILAHI (IMAGO DEI untuk melihat Tuhan yang sejatinya adalah AKU kita.
Sehingga rumusannya menjadi sbb: Tataran makrifat: Tuhan itu subyek (aku) yang melihat obyek (engkau) dan tidak menDia-kanNya lagi (tataran Syariat) sehingga transendensinya menjadi “kita semua” TARAF SUPRA MAKRIFAT.
Namun yang perlu kita cermati bersama: Sebuah ayat di Kitab Suci saat menggambarkan sejarah Adam di Surga: KATA ADAM: Semua sujud kepadaku kecuali satu malaikat cerdas yang tak lain si Iblis. Lantas dimana Iblis/setan? Logikanya bila Semua (tanpa Adam) sujud kepadaKU (adam) kecuali siapa??? Adam sendiri… sehingga setan/Iblis berada dalam adam (Aku). Tidak diluar diri kita///
Monggo dilanjut. Matur suwun bisa diskusi tentang soal-soal yang seurious hehe… wass…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar