Bab 10
PENGALAMAN SHALAT MA’RIFAT
(SEMADHI)
Karena pokok utama Semadhi (shalat Ma’rifat) hanya untuk menentramkan pikiran (astendriyo-jawa), kalau sudah tentram sementara, dimata seperti tidur-tidur ayam atau pejam mata lalu ada rupa-rupa atau gambaran sepintas lalu tidak terang dan selalu berubah warna, terkadang getaran, ada bayangan-bayangan yang tidak jelas, berarti pikiran belum tentram betul, lalu penglihatan rosojati (roh jasmani) masih belum sempurna.
Gambaran-gambaran tadi semua penglihatan gaib, yang keluar dari badan sendiri, tidak dari mana-mana, dan leadaan itu terpaksa dianggap mengetahui gaib, lalu diterima dengan baik dan dirahasiakan.
Semua itu salah terima, menjadikan tidak benar (kesasar), salah arah. Gambaran-gambaran tadi hanya rekaman pikiran (tabet/warono-jawa) dari kerjanya perasaan (astendriyo-jawa) yang tiga banyaknya;
1. Keinginan;
2. Angan-angan (krentek-jawa);
3. Pikiran.
Di Wiridan pengalaman dan gambaran-gambaran tadi disebut Kijab (tirai pembatas) yang timbul dari kemauan nafsu. Jadi jangan dianggap gaib, sebab itu tadi banyak orang-orang yang cenderung dengan pengalaman tadi, lalu diubah-ubah (kutak-katik-jawa) cocok apa adanya, hasilnya menerima apa adanya.
Keterima (diterimanya) shalat tadi lama, dan pengalaman tadipun lama, dan akan mencapai kepada pengalaman-pengalaman yang sangat berbeda dengan pengalaman-pengalaman yang diatas, pengalamannya rasanya sendiri yang menakut-nakuti (jumpa katak membawa senjata, kelabang, ular sebesar bantal dan lain-lain).
Jalannya pengalaman-pengalaman tadi begini : badan seluruh tubuh merasa ada semut berjalan, wajah merah semacam digigit semut, dan tubuh kita seperti ada ular berjalan, diperasaan seperti akan kita garuk (kukur-jawa), dipunggung terasa geli, dan tubuh seolah-olah akan terbang, dikepala pusing seperti mau pecah, ada suara seperti petir, kebanyakan orang takut langsung dibatalkan niatnya, karena seperti benar-benar ada, lalu langsung takut, lain waktu dicoba lagi. Ada pengalaman-pengalaman lagi yang sangat menakutkan; umpamanya ada ular keluar dari ibu jari, langsung naik keatas menaiki perut, langsung ketenggorokan (leher), naik lagi keatas seperti mau menelan kepala kita, semua itu seperti benar-benar ada, karena jiwanya lemah langsung batal dan bangun.
Semua yang menakut-nakuti para yang mengerjakan shalat Ma’rifat, jika sendirian lalu bangun, lari dan pingsan, jika kurang waspada bisa mati. Jika bisa lulus bisa disebut bisa membuka tirainya (Warono-jawa), dan tidak tidur, tidak terjaga, tidak lupa dan tidak ingat, itu baru disebut Ma’rifatnya Hakikat (belum Ma’rifatnya Ma’rifat / At’tauhid). Biasanya melihat cahaya terang tanpa batas, hanya sekejap mata seperti kilat, bahasa Wirid disebut Samudra Luas (Alam laut). Jadi disitu pengalaman Hakikat meninggalkan dalam keadaan tidak merasakan apa-apa; karena itu pengalaman sebenarnya belum bisa apa-apa, terkabulnya harus menghilangkan perasaan, dan harus merasakan aku sudah At’tauhid (nunggal sawiji-jawa) tingkatan Ma’rifat.
Selanjutnya seperti apa keadaan gambaran-gambaran Ma’rifatnya Hakikat itu; keadaannya beda yang menjalani beda pula alamnya, jadi jika digambarkan sama dengan orang tidak pernah merokok ditanya rasanya, tentu tidak bisa dijelaskan rasanya, Jadi yang mengetahui yang menjalani (situkang merokok).
Pengalaman selanjutnya akan diterangkan keadaannya berdasarkan pengalaman pada Dalil dan Hadist :
1. Di pedalangan ada kata-kata; mencari ilmu harus di wejang bagi Bharata Sena dengan Dewa Ruci, setelah Bharata Sena menerima ilmunya Dewa Ruci, Bharata Sena langsung senang sekali (Katrem jiwanya-jawa), di alam perjumpaan dengan Dewa Ruci.
2. Dalil dan Hadist menceritakan perjumpaannya Nabi Musa as. dengan Nabi Khaidir, Nabi Musa menerima wejangan-wejangan dari Nabi Khaidir, tetapi sebelum tamat, Nabi Musa sangat ingin bertanya ingin menegetahui semuanya rahasia itu. Sebelumnya Nabi Musa sudah dijanji tidak boleh bertanya apa-apa selama diwejang, contoh itu nyata disebut 1 dan 2, keterangannya selanjutnya berdasarkan Al-Qur’an Nul Qarim, Al-hadist, buku-buku pedalangan suluk Dewa Ruci. Firman Allah Qur’an surat Al-Kahfi : 65 ;
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Allah, yang telah Allah berikan kepadanya rahmat dari sisi Allah, dan yang telah Allah ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Allah”
Pengalaman-pengalaman yang akan jumpa di Dalil dan Hadist, keterangannya di Nomor 1 seperti diatas. Pokoknya shalat Tauhid, shalat Ma’rifat (Semadhi) membangunkan jiwa yang hidup memakai alat Roh Jasmani (rosojati-jawa), pekerjaan itu bisa dikerjakan sembarang orang tidak melihat apa ilmunya (gebengannya-jawa), yang penting bisa menentramkan pikirannya (astendriyo-sansekerta), berhentinya pikiran (astendriyo) mengadakan suara dan pengalaman macam-macam yang sebagian besar jalannya darah (tali rasa – jawa), umpama jalannya darah bisa teratur, astendriyo bisa berhenti (lerem-jawa), lalu bisa mengetahui apa-apa tanpa mata. Sesudahnya mengalami macam-macam tanpa mata, berhentinya pikiran, lalu terdorong oleh berdirinya (jumeneng-jawa) Roh (jiwa) yang hidup memakai Roh jasmani (rosojati-jawa). Dan rosojati (Rohani) itu melihat dengan terang, tidak bisa ditipu dengan kemauan Panca indra (nafsu). Jadi rosojati (Rohani) yang bisa melihat terhadap alam gaib tanpa memakai alat apa-apa. Karena yang mengerjakan masih segar bugar, seluruh pengalaman masih bisa diingat dan ditafsir, dan shalat Ma’rifatnya sudah selesai.
Menyimpan pengalaman-pengalaman membangun Roh hidup seperti disebut diatas, lalu ada pengalaman lagi yang menarik pikiran menjadi tenang dialam itu, yaitu penglihatan rosojati (Rohani) mengetahui jiwanya sendiri dikata-kata ilmuwan (Wedaran wirid), mengetahui diri sendiri atau bayangan putih (mayang goseto-jawa) seperti cerita Dewa Ruci selagi Brata Sena menjumpai Dewa Ruci ditangah samudra (alam luas), dan warna saudara sendiri (Roh Jasmani) ditafsirkan putih bersih, ada lagi ada tandanya aksara Alif dikeningnya, warna-warna tadi jernih dan keruhnya seperti keadaan diperut.
Karena warnanya seperti yang melaksanakan shalat Ma’rifat (semadhi), di pedalangan Dewa Ruci kecil, kerdil dan brata Sena tinggi besar seperti raksasa. Dialam perjumpaan merasa diwejang (diberi petunjuk) macam-macam. Jadi pasti ada seperti menyerupai dirinya, lalu tidak mau balik; terpukau senang dan betah (kerasan/katrem-jawa), disitulah adiguna (kekuatan) seperti kekebalan, dukun, pawang, hipnotis dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya, tinggal memilih apa-apa yang dikehendaki, semua itu sebenarnya bukan tujuan utama menimbah ilmu Allah yang disebut Innalillahi wa innaillaihi rajiun (asal mula nira-jawa). Tetapi pengalaman-pengalaman itu semua penghalang, sama dengan kalau kita menghitung angka 10 (sepuluh) pasti melalui angka 4,5,6,7 dan sebagainya.
Jadi umpama terpikat dengan pengalaman-pengalaman tadi (tujuan utama) atau membuktikan At’tauhid dan hambatan-hambatan yang berbahaya bisa menyebabkan balik arah. Dewa Ruci mengatakan; bila Brata Sena memang benar menghendaki diam disitu, sebab alam itu jauh dari sakit, susah, dingin dan panas, tentram nikmat seperti disurga. Kebaikan Dewa Ruci (guru yang benar) melarang Brata Sena untuk tinggal disitu, karena Brata Sena masih mempunyai keinginan, jadi Brata Sena belum sempurna (belum Innalillahi wa innaillaihi rajiun), karena Brata Sena masih dibebani keduniaan.
Para Ahli Ma’rifat (semadhi) tadi yang masih mempunyai keinginan tidak bisa At’tauhid (nyuwiji-jawa).
Pengalaman-pengalaman tadi hanya bunga-bunga yang menuju yang satu (Allah), pasti harus kita lalui sebagai percobaan kuat atau tidak. Kalau kuat menghalau godaan-godaan lahiriah, maka bisa lulus ke Innalillahi wa innaillaihi rajiun (pulang keasalnya/Islam).
Diketerangan-keterangan ini ada 2;
1. mengetahui pada keterangan-keterangan tadi bisa menambah kekuatan menuju Islamu (Islam sejati), dan menjadi terbukanya pikiran (astendriyo-jawa) semakin terang jalannya menuju menyatunya hamba Allah, dan menambah kekuatan menuju kepada Dat Wajib Adanya.
2. Mengetahui tentang rahasia-rahasia diatas untuk menjaga jangan sampai lupa menyembah kepada Allah, jangan balik arah menuruti kemauan nafsu.
Selanjutnya membicarakan tentang ayat suci diatas, Qur’an surat Al-Kahfi : 65 ;
Kata Hamba itu artinya umatnya Allah, seperti Malaikat, Syetan, Jin, Manusia, Binatang dan sebagainya, seperti yang tidak nampak oleh mata disebut Molekul-molekul (atom, oxygen dll) , walaupun roh itu ciptaannya Allah juga. Astendriya (pikiran) itu umatnya manusia (alatnya manusia). ayat-ayat tadi jika diteliti dengan pengalaman-pengalaman cahaya terang benderang (bayangan putih bersih) yang luhur tadi bukan orang, tetapi Dewa Ruci terhadap Brata Sena (cerita pedalangan) atau saudara sendiri yang luhur dan cerdik, yang nampak didalam semadhi (tauhid), makhluk gaib-gaib ciptaan Allah, jadi hidup seperti diri kita sendiri, kita jumpai seperti Malaikat dan Rasajati (Rohani). Maka yang mengajarkan seperti Dewa Ruci di Pedalangan, yaitu Nabi Khaidir dan Nabi Musa as. terhadap junjungan kita Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril, jadi kata-kata Nabi itu supaya mudah menerangkan tentang ilmu tadi. Di surat Suluk dan Wirid Brata Sena dan Nabi Musa jumpa di samudra luas, kata samudra; terang bendarang seperti samudra tanpa batas.
Di surat Wirid atau Suluk pasti ada cerita tentang Sunan Kali Jaga yang bertapa ditepi samudra (Syeh Malaya), Syeh Malaya juga ditepi samudra, itu hampir sama. Kata samudra adalah alam yang bebas yang tidak bisa dilihat (tanpa batas).
Pengarang buku-buku Suluk dan Wirid, semua menceritakan pengalaman-pengalaman tentang shalatnya sendiri (shalat Ma’rifat), pasti semua ditengah-tengah samudra, karena sudah ada yang mengaturnya (Allah SWT), seperti disebut di kitab Al-Qur’an surat Al-Kahfi : 65; artinya shalat Tauhid (Ma’rifat) yang seperti apa saja pasti melalui alam terang benderang (alam tanpa batas). Kutipan dari buku Suluk Syeh Malaya dan sama jumpanya Sunan Kali Jaga sewaktu diwejang oleh bayangan putih; “sang pandita cepat jalannya, ditempat Bonang padepokan, ternyata cepat-cepat, sudah sampai dipesisir samudra, jalannya Syeh Malaya (Sunan Kali Jaga) tujuannya naik haji ke Mekah, jalannya salah arah, terkadang samudra sangat jauh, jauh sekali tanpa batas, tercengang seketika, ditepi samudra, ternyata tadi yang datang, yang menguasai Jagad raya (tidak tahu arahnya)”; itu jalannya yang ditunjukkan (digambarkan dipedalangan) sewaktu Brata Sena menempuh hutan belantara banyak perampok (diantara banyak perampok), Brata Sena bukan ibarat Jasmani, tetapi ibarat batin (hati), tekad (semangat).
Setelah naik setingkat dengan cara Tauhid (Semadhi), langsung jumpa dan terbuka apa yang menghalangai godaan sendiri, seperti hawa nafsu yang berbekas di indra (pikiran), karena semua sudah terbuka dengan cara shalat Ma’rifat (semadhi) lalu melihat cahaya yang sangat terang yang tidak pernah dilihat didunia ini, luas seperti samudra yang tidak ada batasnya (tetapi tidak merasakan apa-apa).
Selanjutnya begini, Qur’an surat seperti yang diatas yang ingin mengetahui; “Syeh Malaya sedih, ingin tahu Hidayat (petunjuk, taufik, anugerah), tanpa tempat tanpa nama, jiwa menjiwai, tersimpan, kapan jumpanya, kalau tidak dapat anugerah baik, kecuali dapat ijin Yang Maha Kuasa, ternyata Sunan Kali Jaga ditengah samudra jumpa, masih tenang saja, ucapan Nabi Kilir, ayat Qur’an dan Hadist mengatakan nama tadi, datang tanpa tujuan, berkata pelan-pelan”, syair tadi tembang jawa, asalnya dari para sarjana yang sudah mencapai Hakikat (Ma’rifatnya Hakikat).
Selanjutnya Wiridan tadi; Syeh Malaya (Sunan Kali Jaga); ada apa pekerjaanmu, datang kemari, apa tujuanmu, kemari ditempat sepi, tidak ada yang indah, dan tidak ada yang dimakan, tidak ada pakaian, meliputi Jagad raya pelan-pelan berbicara, batas disini ini, banyak bahayanya, kalau tidak mengadu nyawa, pasti tidak sampai disini, disini sepi semuanya (sunyi senyap), jadi dikatakan panca baya (lima bahaya), itu tujuan bagi kasunyatan (kenyataan), bahwa sudah dapat dari guru, supaya dapat membuktikan shalat tauhidnya (semadhi), tetapi jika tidak waspada dan sentosa jasmaninya mengakibatkan kematian.
Selanjutnya dandang gula (arum manik-jawa); cepat datang kemari dengan Syeh Malaya, menyatu dibadanku, Syeh Malaya semakin menghadap dan tertawa, tidak menangis; katanya pelan-pelan, dengan bayangan paduk kecil (Dewa Ruci dan Brata Sena), kami tinggi besar, tubuh kuat perkasa, dari mana jalannya saya masuk, jari kelingking apa muat, Nabi Kilir berkata pelan-pelan; besar mana dunia seisinya dengan gunung, samudra dan dasarnya, tidak sempit untuk masuk, didalam gambaranku, Syeh Malaya mendengar, lebih takut mengatakan, kepada yang menguasai Jagad Raya, intisarinya perjumpaan bayangan dengan yang shalat Ma’rifat (semadhi) dan yang membuktikan itu si Hati, karena pengalaman tadi masih pengalaman Hakikat, sebenarnya para ahli Yogi, Nabi, Wali, Mukmin, dan siapa saja masih memakai bayangan-bayangan, pasti mempunyai perasaan, artinya belum menyatu (nyuwiji-jawa/At’tauhid-Arab).
Jadi arti keterangan diatas, artinya pada waktu itu, walaupun Wali masih sangsi-sangsi, buktinya bertanya, bagi yang diwejang dan yang memberi wejang itu dalam diri sendiri; ketika ada anak kambing (lontang-jawa) terengah-engah mencari Roh yang mulia menyatu orang Hakikat (diibaratkan/pasemon-jawa).
Jadi pengalaman yang gawat dan rumit itu pada hakikatnya karena mencari Datnya Allah melalui bayangan putih (penghalang/simpang empat);
A. Pengalaman Nabi Musa as. jumpa dengan Nabi Khadir di samudra, Nabi Khaidir menjadi pembicaraan sekitar tahun 1378 H, Al-Hadist Bukhari no.6 Bab. Pembicaraan para sahabat-sahabat sewaktu membicarakan perjumpaannya Nabi Musa dengan Nabi Khaidir, Hadist membicarakan para sahabat-sahabat tadi hanya mendengarkan pembicaraan Nabi Muhammad SAW saja. Ternyata kejadian sewaktu Nabi Musa as. masih hidup, beberapa ribu tahun sampai sekarang, kalau tahun Hijriah di tambah zaman Nabi Musa as., maka menjadi pembicaraan Nabi Khaidir jumpa dengan Nabi Musa as. yang dibicarakan dalam Hadist oleh Nabi Muhammad lebih kurang dikatakan :
Ibnu Abas menceritakan tentang tafsiran Hurr Bin Qais, siapa kawan Nabi Musa as. sewaktu jumpanya, Ubay cerita dengan Ibnu Abas dikatakan : kawan Nabu Musa itu memang ada dan saya mendapat keterangan dari Rasullullah. Pada suatu hari Nabi Musa as. berkumpul dengan orang-orang Israel, lalu ada orang laki-laki bertanya kepada Nabi Musa as., Nabi Musa apa mengetahui orang yang lebih pintar dari padaku, Nabi Musa menjawab ; “ tidak”, seketika Allah memberi wahyu terhadap Nabi Musa as., orang lebih pintar yaitu hamba Khaidir, Dalil Al-Qur’an surat Al-Kahfi : 65 ; seperti diatas, cerita itu cocok sama dengan perjalanan Sunan Kali Jaga sewaktu jumpa disamudra (alam tanpa batas). Apa yang terpenting wejangan Nabi Khaidir terhadap Nabi Musa as.?, wejangan-wejangan yang diterima Nabi Musa terhadap Nabi Khaidir?, kalau dicocokan perjalanan Syah Malaya (sunan Kalli Jaga) dan Nabi Kilir, dan Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril, tidak beda sama orang yang kebetulan jumpa dengan saudara sendiri.
Diceritakan Dalil dan Hadist; bila Nabu Musa tidak kuat menerima wejangan-wejangan Nabi Khaidir terbukti selalu bertanya walaupun tidak di ijinkan bertanya sewaktu menerima wejangan, sewaktu jumpa tadi tidak seperti biasanya, tidak bisa diterima akal pikiran, Nabi Musa selalu bertanya, itu menjadi tanda bahwa Nabi Musa masih tingkat Hakikatullah (belum Ma’rifat), bisa disebut masih merasakan (pangrasa-jawa), karena perasaan sama dengan hati, walaupun sebenarnya Hakikat itu tidak merasakan apa-apa, tetapi merasakan itu yang menerima adalah hati.
Dalam cerita umumnya,; Nabi Khaidir sewaktu mendayuh perahu yang dinaiki keduanya, Nabi Musa as. tercengang dan tanda tanya, yang membingungkan perjalanan sewaktu Nabi khaidir membunuh anak kecil, menurut hukum belum mempunyai dosa. Selanjutnya Nabi Musa bertanya dan Nabi Musa tidak tahan menerima maksudnya, kejadian tadi itu tidak berbeda dengan perjalanannya Brata Sena, Syeh Malaya di surat Suluk. Nabi Khaidir membunuh anak kecil, jika diukur berdasarkan hukum agama, sipil, militer, internasional, ternyata tidak ada seperti itu dan pasti dihukum, akan tetapi karena hamba Allah Yang Maha Mengetahui itu memiliki Rasajati (rohani), Yang Maha Mengetahui dan juga mengetahui segala kejadian yang udah dan sebelumnya, itu tergantung yang menjalankan shalat tauhid (semadhi) dan diwejang Nabi Musa as sendiri, jika anak kecil tadi tidak dibunuh sekarang, nantinya akan menjadi penghalang kebaikan, itu salah satu wejangan atau sumpah, artinya waspada bagi orang yang mempunyai ilmu, jadi yang menerima pesan (wangsit-jawa) tadi Batin (Qalbu-Arab), jadi batin yang akan mencari.
Siapa saja yang mempunyai kewaspadaan (Sidiq-Arab) mengetahui sebelum terjadi, tanda-tanda menerima rasajatinya atau kalbunya, dan artinya oleh karena rasajati sama dengan bayangan sendiri yang nampak, siapa saja bisa meminta atau menyuruh bayangan tadi.
Pengalaman tadi yang bisa menghanyutkan tujuan semula (seperti alat bantu / perewangan-jawa), jadi anak kecil tadi adalah perewangan atau makhluk yang membantu kita, itulah sebabnya harus dibunuh (disingkirkan).
Di suruh membunuh anak kecil, sama dengan cerita Ramayana; Prabu Rama membunuh Subali (raksasa), umpama jika Subali tidak dibunuh, di masa depan menjadi perusak dunia. Sama dengan bayangan sendiri (bayangan putih), jadi keterangan diatas kalau dikerjakan pasti mengherankan, karena tidak umum bagi yang mempunyai keluarga (mempunyai anak).
Kebanyakan ahli Ma’rifat sudah mengetahui sebelum terjadi, karena mempunyai pikiran luhur dan suci, apa ayang mau dikerjakan disamakan dengan keadaan, tetapi tidak mau mendahului kehendak Allah, semua yang akan dikerjakan itu milik Allah, sama dengan “ya Allah ya Aku”.
Dengan keadilan Allah; Allah memberi anugerah tidak main-main, dibunia tidak ada ukurannya. Semua bisa dimiliki, umpama orang sudah bisa menyingkirkan penghalang (warono,kijab kawulo lan Allah-jawa); perjalanan itu bagi Nabi Muhammad disebut Jibril, pada suatu hari Malaikat Jibril menampakan diri pada Nabi Muhammad, serta berbicara; “hai Muhammad, pilih mana, keluhuran atau kekayaan?”, karena Nabi Muhammad waspada (waskita-jawa), pembicaraan Jibril langsung ditolak, tujuan Nabi Muhammad tetap satu, yaitu Innalillahi wa innaillaihi rajiun (Islam yang sempurna); asal dari Allah kembali (pulang) ke Allah.
Karena yang nyata tujuannya dan ilmu At’tauhid (nyuwiji-jawa), jadi ilmu itu amalannya menyatu dengan Dat Allah sampai kenyataan adanya Layu Kayafu (tidak bisa dijangkau, menyaksikan, mengetahui dan melihat).
Didalam shalat Tauhid, bagian-bagian keterangan diatas hanya satu tingkat saja yang dijalankan, apa bisa menyatu dengan keadaan Dat yang tidak bisa dijangkau (layu kayafu) ataupun Tari’kat dengan kekuatan gaib itu tergantung yang mengerjakan.
Selanjutnya menerangkan rahasia ayat suci Al-Qur’an Al-Araf : 29 ;
Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan (katakanlah):
“Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya).”
Jangan sampai membicarakan yang tidak berdasarkan Dalil ataupun pikiran yang jernih, mudah-mudahan nanti memiliki pengetahuan tentang rahasia yang bertahun-tahun masih dirahasiakan :
1. Sembahlah Allah; sembah itu menuju hamba dan Allah melalui Ma’rifat dan yang bisa membuktikan hanya yang menjalani sendiri. Jadi umpama dihitung menyembah berdasarkan tingkatan tadi hanya At’tauhid (Ma’rifat) dan menyatunya hamba dan Allah, terang-terangan saja tidak bisa ditulis atau dijelaskan, dan penyembah tingkat Sa’riat, Ta’rikat, Hakikat itu hanya jalan menuju Ma’rifat (Islam).
2. Dengan mengikhlaskan agama kepada Allah, kata Ikhlas itu menyatakan bekerjanya Dat dan keadaan Dat. bekerjanya dat bisa berpikir, nafsu, berusaha hanya menjalani, bisa dikatakan tidak ikut memiliki. Jelasnya memberi kepada orang lain sekedar ikut geraknya Dat (Allah) Yang Maha Pengasih, karena Allah itu sifatnya Maha Pengasih, maka manusia memiliki watak asih. Sifat sayang itu cahayanya sifat Dat yang wajib. Dat yang wajib, dia menampakan sifat Kasih melalui orang, dan orang bersedekah kepada sesamanya. Jadi Ikhlasnya menyembah yang benar itu tidak mempunyai tujuan iri hati, keinginan-keinginan yang melalui tujuan itu sudah hilang, karena Ikhlas bagi agama apa saja bisa tercapai.
3. Sebenarnya Allah memulai kejadianmu; pertama bila diukur ukuran dunia, ialah bayi yang dilahirkan. Intisari perkataan pertama terjadinya bayi lahir itu tidak mengetahui apa-apa (tidak merasakan apa-apa) tetapi hidup. Sebenarnya bayi lahir iti contoh Dat yang tidak bisa dijangkau atau keadaan Kosong (suwung-jawa), yang bisa membuktikan orang hidup contohnya seperti bayi yang baru lahir tidak mengetahui apa-apa. Seharusnya ada yang tanya, kenapa tidak bisa begitu lagi, kalau ingin seperti itu lagi harus pakai ilmu, oleh karena orang sudah ditutupi pembatas (nafsu, warono). Bayi lahir tidak mempunyai nafsu.
4. Begitu kamu kembali kepadaku; itu ayat untuk mengatakan, artinya contoh bayi lahir dalam keadaan Ma’rifat. Sebenarnya itu contoh merasakan lahir sama dengan rasanya orang Ma’rifat, begitulah nanti kalau pulang ke Allah (Innalillahi wa innaillaihi rajiun), rasanya seperti sewaktu dilahirkan kedunia, yaitu yang disebut kekal (abadi), Baqa (nirwana-Budha), alamnya Dat kembali keasalnya sebelum ada apa-apa.
Dan ada pertanyaan; jadi yang disembah tidak ada apa-apa, tidak nampak, tidak bisa dilihat, salah jawaban bisa salah arah, kalau memberi keterangan hanya berdasarkan pendapat orang tua-tua dahulu, sebenarnya akal dan pikiran harus meneliti kata-kata (saya tidak mengetahui atau tidak bisa membayangkan), karena sudah ada Dalilnya kalau kamu ingin menghadap Allah harus seperti bayi lahir yang tidak tahu apa-apa, tetapi bayi itu tetap hidup. Yang hidup nanti, jika sesudah dewasa yang menyabut-Nya, tetapi kalau menyembah kosong (suwung) diatas sudah diterangkan. Dat yang tidak nampak (Layu Kayafu) tidak bisa dijangkau oleh apapun walau tidak nampak, tetapi bisa menciptakan Jagad raya (alam semesta) dan seisinya, jika berkata Qun Fayakun; terjadi semuanya.
Keterangan yang bersangkutan dengan ilmunya Syeh Siti jenar, berani menyatakan “Allah itu Aku”. Karena Dat yang tidak bisa dijangkau (layu kayafu) sama dengan tidak tahu, bisa jadi para Wali di tanah Jawa benci semua terhadap Syeh Siti Jenar, karena Ikhtikat mengaku Allah, Syeh Siti Jenar; yang penting dianggap unggul. Syeh Siti Jenar mengaku “Aku tidak Tahu”, karena memang Allah itu tidak bisa dilihat oleh alat apapun”, keterangannya begini; bisa jadi Syeh Siti Jenar sudah memahami atau yakin benar terhadap rahasia Al-Qur’an surat Al-Araaf : 29; mengatakan dat Allah tidak bisa diketahui atau tidak ada untuk ukuran dunia, itu memang benar, artinya mata tidak bisa melihat, tetapi ukuran perasaan (Qalbu) harus mencari.
Menurut surat tersebut diatas; umat-umat itu kalau mengetahui lahir didunia itu tidak tahu apa-apa, yang bisa membuktikan hanya para Ma’rifatullah, kira-kira zaman dahulu Syeh Siti Jenar, walaupun menjadi Wali, ternyata masih mempunyai sifat lupa, kata lupa itu tidak salah sangka, hanya waktu tidak ingat. Syeh Siti Jenar mengatakan; “Dat yang tidak nampak tetapi kuasa (wenang-jawa)”. Sebahagian orang mengatakan “Allah itu aku”, karena rambut sampai putih semua, badan sudah bungkuk, mencari Dat pasti tidak jumpa, karena tidak bisa dijangkau (layu kayafu).
a. Shalat lima waktu puji zikir, pasta tyas karsanya pribadia, bener luput tanpa dewa, sadar panggung tertamtu, badan alus munakarti, ngendi ana yang sukma, kejaba mung ingsun, ngider daya cakrawala, luhur langit sapto bumi durung manggih, wujud Dat kang mulya.
b. Syeh Siti bang menganggep Hyang Widi, wujud kang kasat mata, sarupa kadia dewa, ing sipat wujud, lir wewujud baleger tan kala, warnanya tanpa ceda, mulus alus lurus kang nyata tan wujud dora, lirnya kidam dihin jumeneng tan keri, sangking pribadi nira.
Pengarang surat (buku) Syeh Siti Jenar tadi pasti orang yang masih tingkat Hakikat, atau masih belajar, bukan ahli Ma’rifat, karena berani mengatakan benar salah tidak sendiri, itu orang yakin benar bila kekuasaan Dat itu berada padaku, dan kalian semua, yang menyatakan dan membenarkan diri sendiri, pengarangnya sudah bisa mengoreksi diri sendiri.
Kata “badan halus munakarti”, artinya kepercayaan berubah-ubah, itu dikendalikan oleh badan halus bergerak sendiri (Qiyamuh Binafsihi). Orang yang kurang paham, badan halus yang bisa menggerakkan dianggap keinginan, pikiran, kemauan, jadi Allah dianggap kemauan pikiran atau keinginan, dan dimana ada Allah kecuali ingsun (aku) pasti benar karena Allah tidak nampak, tidak bisa dijangkau (tan kena kinaya ngapa-jawa). maka pengarang itu menyatakan jiwa itu sama dengan aku (ingsun-jawa).
Keterangan sifat 20; orang itu yang memiliki Dat, jadi jiwa kalau disamakan aku (ingsun-jawa), itu benar. Karena orang mempunyai bayangan Dat, sifat 20, jadi aku itu bukan Allah, tetapi hanya bayangan saja. Walaupun sama tetapi tidak mempunyai sifat kuasa (wenang-jawa), tidak bisa menciptakan apa-apa.
Keterangan tembang dendang Gula tadi; kesalahan terletak pada kata aku sama dengan Allah, maka ada kata; “sapta bumi belum jumpa bentuknya Dat yang mulia”, pengarang buku Syeh siti Jenar mengakui; wujudnya ingsun (aku) tidak pernah jumpa (dilihat), tetapi batinnya mengakui ada, yaitu Dat yang mulia.
Selanjutnya wujud yang tidak terlihat oleh mata kepala, itu benar, sama dengan dia. Kalau salah tafsir lalu mengakui pengalaman Mayangga Seta (bayangan putih) Allah. sebenarnya sama dengan dia itu Dat sifat, Widhatul Wujud (menyatu dengan sifat-Nya) atau Kata-kata satu tidak dua, itu benar, tujuan pengarang; widhatul wujud, mengartikan hamba dan Allah itu satu. Pendek kata secara singkat Bak atau kolam yang berisi air, lalu ada bayangan matahari didalam air (lihat Bab 3). Dan yang dikatakan wujud (ada) tetapi tidak bisa dilihat, tetapi ada (wujud).
Jadi pengarang buku Syeh Siti Jenar itu tidak mau mengakui kata Siti Jenar, lalu tidak sependapat. Jadi Syeh Siti Jenar benar, karena kita lahir tidak tahu apa-apa (dalilnya Allah). rasa mneyatu (At’tauhid) yaitu sewaktu kamu Innalillahi wa Innaillaihi rajiun, sama dengan sewaktu kamu dilahirkan kedunia tidak mengetahui apa-apa. Kalau mau membuktikan Islam lah (Ma’rifat). Kalau keterangan itu kurang jelas, jadi ilmu itu kalau sudah merasakan tidak tahu, semua itu harus dibuktikan melalui keyakinan dan shalat Khusyuk.
B. Cerita Nabi Musa as. jumpa dengan Dat Allah, nyata atau tidak ?. Nabi Musa as itu tidak pernah menduakan Allah, walaupun Nabi-Nabi; Daud, Yusuf, Ibrahim, Isa dan Nabi Muhammad SAW, sebenarnya sama-sama mencapai Islam, akan tetapi cara lahirnya; ajaran-ajaran yang disebarkan (agama) yang berbeda-beda:
Al-Qur’an surat Al-Araaf : 29 dan 143;
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”
Benar dan salahnya harus dipikirkan secara jernih, rahasianya ayat-ayat Qur’an itu kalau kurang berpikir dan kurang pengalaman bisa menjadi salah terima (mengartikan). Bagaimana kalau diteliti secara lahir dan batin (positif dan negatif) Nabi Musa as. menurut ayat mengatakan secara jujur, mengakui tidak pernah melihat Dat Allah.
Para Nabi, terutama Nabi Musa as. dikatakan umumnya dikatakan umumnya (tidak tahu), dan mengakui tidak mengetahui benar tentang Allah. jadi Para Nabi dan para Wali Allah zaman dahulu tidak pernah mengetahui Allah. kata melihat ternyata diayat-ayat tadi, bukannya melihat dengan mata, tetapi melihat secara Ma’rifatullah. Dan kata gunung; kata ilmu disebut Jabal (arab), dikitab Injil disebut Gunung Tursina. Umpama diteliti dengan pikiran yang jernih pasti tidak masuk akal, karana rahasia ayat tadi diumpamakan; gunung itu orang atau sebahagian badannya, seperti Gunung (hidung), kenapa langsung mengatakan Hidung?, orang didunia memang melihat gunung asli (benar-benar gunung), jawabnya pertanyaan itu terdapat pada ayat diatas; “kalau gunung itu tetap ditempatnya baru bisa melihatku”. Rahasia Hidung itu kalau bergerak-gerak pasti tidak diam, maka Allah mengawasi tetap ditempat, jadi kalau orang zikir goyang-goyang kepala, pekerjaan itu tidak boleh, harus tenang ditempatnya, harus Khusyuk, Semadhi, Tauhid. Oleh karena itu lalu dinyatakan pada zaman dahulu sudah ada shalat Tauhid, shalat Khusyuk (nyuwiji-jawa), jadi zikir (tasbih) itu harus tenang, jangan goyang-goyang, tenang itu supaya bisa Khusyuk, dan cepat mendapat petunjuk Allah.
Selanjutnya Nabi Musa as. bisa melihat Dat Allah, sulit dan membingungkan, kata ayat; “Cahaya Tuhan nampak, Gunung langsung pecah, Musa jatuh kebumi dan pingsan”, keterangannya begini;
1. Gunung Cahaya Dat, mengalami Hakikatnya Dat tidak ada apa-apa (kosong), Layu Kayafu, keadaan tidak sadar;
2. Gunung pecah; hidung tidak nampak bayangannya, karena yang mengalami sudah pingsan, maka kata pecah; tidak bisa melihat;
3. Nabi Musa pingsan; keadaan Ma’rifat (menyatu dengan-Nya), lalu disebut pingsan, tidak merasakan apa-apa;
4. Nabi Musa langsunng bertanya; dan taubat kepada Tuhan dan sangat yakin bila Dat Allag\h memang tidak nampak dan tidak bisa diketahui (tidak tahu).
Gaibnya alam semesta; Nabi Musa as. percaya betul atau yakin benar bahwa yang disembah tidak nampak, tetapi bisa menciptakan semua yang ada dialam raya dengan perkataan Qun Fayakun : terjadi semuanya.
Shalat Ma’rifat (Shalat Khusyuk) bisa dialami siapa saja, pertama harus mengalami pingsan dahulu (tidak sadar), dan selanjutnya umpama sudah bisa mengalami ma’rifat tetapi sampai Innalillahi wa Innaillaihi rajiun (pulang keasalnya menghadap Allah) pasti mengalami, rasanya seperti mengalami bayi lahir didunia (tidak tahu apa-apa).
Gaibnya bisa dialami sewaktu masih hidup (lihat Bab 1, 5 dan 6). Pada waktu itu Nabi Musa as. tidak disertai Nabi Khadir, karena Nabi Khaidir pada waktu itu Nabi Musa masih mengalami tingkat Hakikat (cahaya terang), Sedang Nabi Musa as. meningkat ke tingkat Ma’rifat, melewati tingkat Hakikat, telah meningkat.
Shalat Ma’rifat itu apa pakai doa (japa mantra-jawa)?.
Al-Qur’an surat As-Syuaara : 192 – 195 ;
192. Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
193. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),
194. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
195. dengan bahasa Arab yang jelas.
Al-Qur’an surat Al-Fhaatir : 22
“dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar”
Buku Azhari Khudi, karangan pujangga bangsa Persia, nama Dr. Muhammad Iqbal (tahun 1876 – 1938), yang dilahirkan di Lahore (india), Tahun 1915 disalin kedalam bahasa inggris dengan Renold A Necholson. Isinya sudah digenari para sarjana Islam didunia barat, sebab mempunyai bentuk syair, yang isinya menuju tidak mengatakan diri sendiri dan dihimpun dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan pengarangnya bangsa Arab, dan isinya mengarah ke Islami, walau bahasanya bukan bahasa Arab, itu menjadi pedoman, lain bahasa tetapi artinya sama. Umpama bahasa Jerman, tetapi hatinya (pikiran) kalau mengkhusyukan pikiran tetap sama.
Kenyataan bangsa Jerman ada yang menyatakan (membuktikan) Allah melalui semadhi (Tauhid), untuk membuktikan adanya Allah (God-inggris). Dan begitu bahasa Arab ditulis di kitab Qur’an Nul Qarim, itu hanya untuk pusat ilmu yang dianut oleh seluruh bangsa didunia.
Ada semacam golongan Islam yang sembahyangnya (shalat), walaupun tetap lima waktu dan tujuh belas reka’at, sehari semalam, tetapi mengucapkan melalui bahasa Jawa, umpama begitu apa orang tadi bisa diterima dengan Allah?.
Al-Qur’an surat Al-Hadid : 6;
“Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
Jadi menurut Dalil itu, bahwa Allah tidak pernah membeda-bedakan bahasa, yang penting tujuannya, karena semua ciptaannya atau bahasa itu untuk mengutarakan angan-angan (maksud). Sewaktu bahasa Arab belum ada, apa Allah bersabda melalui bahasa Arab ?, pasti menurut bahasa orang yang diberi wahyu, karena yang penting terhadap mereka bukan bahasanya tetapi hatinya.
Jadi ternyata artinya ayat Al-Qur’an surat Asy-Syuaara : 192 – 195;
1. Hatimu hatiku, yang mengetahui adalah orang yang mempunyai bahasanya masing-masing, umpama jawa; maka bahasa jawa, orang inggris ya bahasa inggris. Umpama orang baru tidur, lalu mimpi, walaupun ahli bahasa inggris, mimpinya pasti memakai bahasa sendiri, kalau orang jawa, tetap bahasa jawa.
2. Hatimu dan hatiku, untuk berpikir apa saja pasti pakai bahasa sendiri, kalau berpikir memakai bahasa orang lain pasti banyak salahnya. Oleh karena Allah bersama kita, manusia pasti tahu batinnya, walaupun memakai bahasa apa saja. Walaupun bayangan putih diterima oleh saudara sendiri (mayangga seta-jawa) itu pasti memakai bahasa yang mengalami. Melihat bayangan putih; karena wahyu itu yang memberi saudara sendiri (dulure dewe-jawa). Karena Nabi Muhammad mendapat wahyu melalui Malaikat Jibril, melalui bahasa Arab, dan Nabi Muhammad pun bangsa Arab. Begitu halnya kata-kata Allah terhadap para Nabi-nabi zaman dahulu melalui bahasa Nabi masing-masing. Yang begitu tadi walaupun ucapan melalui bahasa Arab, tetapi jika makasudnya tidak dimengerti (dari Hatinya) pasti tanpa guna. Sebaliknya memakai bahasa Cina tembus dihati (batin) orang Cina, pasti tercapai tujuannya. Umpama pujangga Mhd. Iqbal yang tersebut diatas memohon sampai tulus dihati, karena tidak pandai bahasa Arab, itu hanya tertarik pada pusat Dalil-dalilnya Allah di Al-Qur’an, lebih dari itu tidak ada. Menjawab sebabnya bahasa itu sebenarnya tidak bisa dinamakan ucapan, umpama menyampaikan tidak memakai bahasa yang dimengerti oleh orang yang menerima, umpama orang jawa yang mendapat bisikan (wahyu) itu melalui bahasa jawa, itu yang benar. Dan ada pertanyaan lagi, apa doa-doa mantra-mantra bisa tembus (sampai) terhadap mayat, apa bisa mendoakan orang yang sudah mati?.
Adat masyarakat jawa mudah panatik disegala golongan, apa itu agama ataupun budayanya dan lain-lain. Panatik terhadap agama dan tujuannya itu terkadang bertindak tanpa pikir. Mengoreksi jalan atau ilmu pengetahuan, jangan tergesa-gesa, diterima dahulu harus dikoreksi, dipikir, bisa jumpa (selaras) dengan pikiran yang jernih, betul atau salah pikiran-pikiran bebas untuk memikir segala-galanya, dan bisa menjadi semangat jiwa. Bisa memilih yang benar dan yang salah, yang penting pikiran sehat (normal), jadi tidak mudah terpengaruh.
Allah berkata berulang-ulang, supaya menusia mempergunakan pikiran / akal yang sehat, jadi bukan urusan dunia saja, melainkan urusan ketuhanan, dan diselaraskan dengan akal yang sehat. Intisarinya percaya kalau Allah itu ada dan yakin bahwa akal dan pikiran menyaksikan. Menurut Mahatma Ghandi; Allah sifatnya Maha luas, Agung, dan memberi peluang kebebasan manusia berdasarkan Qodrat dan Irodat, jadi manusia berhak menjalankan Hakikatullah. Yakin kepada kekuasaan Dat Yang Maha Agung dan Maha luas, dibuktkikan bahwa Syeh Malaya (Sunan Kali Jaga) itu perampok, mencopet, menghisap morpin, berzinah, tetapi akal pikiannya bebas, bisa memilih dan bisa berpikir buruk dan baik, terakhir bisa menjadi Wali Wahid (No.1) termasyur sampai sekarang.
Contoh-contoh itu siapa saja bisa memiliki sifat Allah, tidak membeda-bedakan dengan cara apapun, berdasarkan mengetahui dan mengamalkan kitab suci. Ayat suci Qur’an surat Fathir : 22;
“dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar”
Sudah menjadi kebisaaan masyarakat jawa, merawat mayat, menyembahyangkan harus memakai Bilal (Muhdin-jawa), dan harus bahasa Arab. Karena menyangkut adat, sudah kita tinggalkan saja, yang penting mencari ayat-ayat diatas tadi. Kata mendengarkan itu berarti memakai telinga dan mendengarkan atau kata-kata;
1. Kata memperdengarkan supaya didengar orang lain.
2. Kata Kubur, asal dari bahasa Arab Qaburun (Qubrun), bahasa jawa alam barzah (Barzahum-Arab).
Jadi bukan tempat, tapi sebagai tanda (kuburan), maka disebut alam peralihan (alam antara), alam antara roh yang keluar dari jasmani. Jadi Roh manusia, hewan, dan lain umat, kalau meninggal gentayangan dialam Barzah (alam kubur), dan disebut siksa kubur dan nikmat kubur.
Yang diinginkan dengan kata memperdengarkan itu ialah menyembahyangkan (menyalatkan), memandikan mayat (telkim), baru diangkat lalu dikafankan, dan maksudnya mengantarkan Rohnya, mudah-mudahan diterima disisi Allah, setimpal dengan amalannya sewaktu hidup didunia, dan mendoakan lebar jalannya, dan terang jalannya, biasanya memakai Arab, dan ditahlilkan, menurut yang hidup semua, karena Allah yang berkuasa dan ada.
Apa-apa doa-doa tadi bisa diterima oleh mayatnya?; Roh yang keluar meninggalkan mayat, menuju kealam baka (Allah), yang sebelumnya tidak pernah dilewati (dialami sewaktu hidup), sewaktu hidup didunia berkumpul dengan anak istri, dan masih bisa mendengarkan azan dan musik, karena masih memiliki Tri indra dan panca indra. Lalu sesudahnya hanya Rohnya saja, telinga, mata, hidung, mulut tidak dibawa olehnya, artinya jasmaninya mati dan busuk. Karena mati, alat tadi tidak berfungsi, jadi si Roh tidak bisa mendengar, hanya merasakan bebannya Roh (lihat bab mati). Sangat disayangkan ada suatu golongan yang menyatakan Roh itu harus disediakan kesukaannya sewaktu didunia atau sewaktu masih hidup diletakkan dibawah tempat tidur, ada macam-macam kesukaannya, dan pasang lampu disebut sajian, semua itu tidak berguna sama sekali, tetapi semua itu sudah menjadi kebisaan (adat). Desa bermacam-macam cara, dikota bermacam-macam peraturan.
Jadi keterangan-keterangan tadi menjadi pengetahuan, karena akal pikiran terbuka dan bebas, serta berdasarkan ayat-ayat suci Dalil-Nya Allah, tidak bisa menerima kebisaaan itu. Hasilnya nanti merubah adat yang tua (kolot) dan menyingkirkan semua dari kegelapan, supaya pembatas masyarakat bisa terbuka dan tidak percaya tahayul (gugon tuhon-jawa). Umpama begitu Wedaran Wirid tidak menyalahkan adat, tetapi apa tidak menghindari ayat Qur’an Nul Qarim?, dan apa tidak menyalah gunakan ayat suci (dalil Qur’an). pendapat itu tidak mau menggunakan akal pikiran yang sempurna, karena kepanatikannya, karena sudah menjadi mendarah daging menurut kata-kata tahayul. Bisa juga memang kurang memahami batinnya, pengalamannya dan ilmunya. Sebenarnya ilmu Allah itu diterangkan tanpa batas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar