Rabu, 11 November 2009

MENCARI GURU SEJATI (1)

Posted in MENCARI GURU SEJATI 1

mas kumitir & sabda langitTiga hari tiga malam, kami bertemu untuk sebuah tugas berat. Tugas yang dituntun oleh guru sejati itu bermaksud untuk berbagi pengalaman apa yang kami alami dalam olah rasa pangrasa, yang mungkin berbeda dengan yang dialami para sedulur yang lain. Tujuannya: mengembalikan kejayaan nusantara yang kini dilanda krisis budaya, moralitas, mental dan spiritual. Inilah laporan tiga hari bersama KI SABDA LANGIT.

Hari Pertama, Kamis : Saya bertemu dengan Ki Sabda Langit pukul 16.00 Wib. Ini adalah pertemuan kedua kali setelah sebelumnya saya bertemu di Yogyakarta sehari sebelum lebaran. Ini adalah pertemuan reuni kedua kali setelah sekian lama terputus oleh jarak dan waktu. Sekilas flashback: Dulu, kami berjumpa untuk pertama kali pada tahun 1990 di Kampus . Kami sama-sama menuntut Ilmu Filsafat di universitas ndeso itu. Inlah masa-masa dimana kami berproses bersama untuk mencari tahu, apa hakikat hidup yang sebenarnya. Karena ilmu filsadat adalah ilmu yang mengandalkan olah akal/rasio maka kami pun mencoba untuk menjawab hakikat hidup dengan akal. Ditempa oleh lingkungan kampus yang begitu idealis, kami menjadi pribadi-pribadi yang punya niat kuat untuk terus mencari hakikat hidup. Tidak lekas percaya pada mitos, kepercayaan, ajaran yang tidak bisa dibuktikan dengan pengalaman. Bagi kami, ajaran apapun tidak ada yang sakral dan magis. Semuanya ajaran harus dibongkar dan dibaca ulang kembali. Tuhan harus dicari dengan akal. Hati nurani untuk sementara disisihkan/dikalahkan. Tidak jarang, kami para mahasiswa dituduh kafir dan sesat karena ideology terbuka ini. Bagi kami, tuduhan dan cercaan adalah cambuk bagi kami untuk membuktikan diri bahwa meskipun Tuhan kami “tiadakan” untuk sementara waktu tapi kami yakin bahwa Tuhan akan memberi petunjuk pada orang-orang yang sesat. Saya dan Ki Sabda Langit adalah salah satu dari beberapa teman Mahasiswa Filsafat yang dipilihkan untuk mendapatkan bimbingan studi dari Prof Dr Damardjati Supadjar. Pikiran-pikiran Pak Damardjati yang begitu inspiratif ternyata menaburkan benih-benih kreativitas untuk menemukan Tuhan dengan cara yang berbeda-beda. Ini sesuai dengan sifat Tuhan yang Maha Terbuka, Maha Kreatif dan Maha Bisa Ditemukan dengan Cara Apapun Juga. Apakah itu Bejo yang menganut Hindu, apakah itu Nuraji yang beragama Katolik, apakah itu Ahmad yang beragama Islam, atau Kamdali yang tidak mengenal agama…semuanya berhak untuk bertemu dengan Tuhan. Semuanya tidak ada yang kebetulan. Ada blue print rencana-rencana-Nya yang kadang awalnya kami tidak tahu hakikatnya. Namun hakikat itu akhirnya ditemukan setelah kejadian.

Pertemuan sore ini dengan Ki Sabdalangit juga merupakan pertemuan yang tidak kebetulan. Suatu ketika, di suatu malam saya mendapatkan “pencerahan” bahwa sumber semua malapetaka adalah lupa pada sangkan paraning dumadi. Bahwa semua sumber keberadaan manusia ini sejatinya adalah YANG MAHA SATU. Yang Maha Satu (disebut banyak sebutan: Tuhan, Gusti Alah, Allah SWT, Yahweh, Hyang Widi dll) memberi pengajaran bahwa manusia akan mendapatkan malapetaka (bencana alam dll) bila melupakan hukum sebab akibat/hukum karma/sunatullah. Maka, diperlukan sebuah pencerahan bersama agar manusia kembali awas, eling lan waspada dan mampu membaca bahasa alam yang merupakan sastra jendra/kitab suci yang sesungguhnya/papan tanpo tulis ini.

Setelah kontemplasi dan meditasi yang tidak sebentar pilihan saya jatuh pada Ki Sabda Langit jadi narasumber Pelatihan Motivasi Spiritual untuk pejabat eselon di Kabupaten Sidoarjo. Sebagaimana diketahui bersama, Sidoarjo adalah daerah yang sedang kena “musibah” bencana lumpur Lapindo yang belum mampet hingga saat ini. Tujuh desa hilang dari peta, dan masih banyak wilayah di Kecamatan Porong yang kena dampak lumpur. Tidak terhitung kerugian masyarakat. Tidak hanya Sidoarjo, namun juga Jawa Timur dan Indonesia akibat adanya lumpur yang merupakan “keajaiban dunia” ini.

Dipilihnya Ki Sabda bukan tanpa alasan. Alasan saya: beliau sangat berkompeten untuk berbagi kawruh tentang pencerahan spiritual lintas agama dan pemahamannya yang universal membantu untuk memberikan penjelasan tentang spiritualitas tanpa terkotak-kotak dalam pandangan yang sempit. Dia tidak hanya berteori namun nglakoni dengan pengalaman pribadi. Latar belakang hidupnya yang kental dengan budaya Jawa akan turut serta menyebarluaskan perlunya kembali nguri-uri kabudayal lokal yang penuh kearifan (local genius).

Gedung Balai Diklat tempat saresehan masih sepi. Hanya terlihat ramai di salah satu ruangan dosen. Di situ, tampak Ki Sabdalangit, Nyai Untari (Isteri), Mas Kumitir dan Ki Camat bercengkrama sambil menunggu datangnya peserta saresehan. Awalnya, saya ragu apakah saresehan informal ini jadi terselenggara atau tidak. Maklum saja, tidak ada konformasi kehadiran resmi sebegaimana biasanya disyaratkan oleh panitia sebelum digelarnya sebuah perhelatan. Sehingga saat saya ditanya Ki Sabda, berapa peserta yang hadir saya tidak bisa menjawab. “Lha nggak tahu ki, tidak ada yang konformasi kehadiran kecuali hanya dua orang menulis di komentar blog wongalus dan menyatakan akan hadir,” jawab saya sekenanya. Maka, acara ini benar-benar diselenggarakan secara “gaib.” Betapa tidak, acara terselenggara tanpa ada panitia. Saya hanya meminta Pak Jaini dan Bu Jaini (penjaga Diklat) untuk membikinkan minuman teh hangat, merebus kacang dan singkong, serta membelikan dus aqua gelas. Sementara Ki Sabda membawa makanan khas Yogya: Bakpia Pathok dan beberapa makanan lain.

Mas Kumitir hanya tersenyum-senyum saat yang terlihat hadir hanya satu orang. Namun, saya tetap tenang. “Nggak jadi saresehan juga nggak masalah kok, Tuhan pasti punya rencana yang lain,”. Begitu pikir saya yang mencoba sumeleh dengan apa yang telah kita upayakan. Namun, saya malah punya ide lain bila acara ini tidak dihadiri manusia. Yaitu akan mengundang wong-wong alus di Sidoarjo untuk mendengarkan arahan Ki Sabda. “Kalau manusia sudah enggan diajak belajar olah rasa bersama, maka biarlah para makhluk halus/gaib saja yang belajar. Biarlah nantinya mereka lebih pintar dari manusia… hehe” Kata saya dalam hati setengah berkelakar. Ternyata dugaan keliru. Satu persatu peserta datang dari berbagai daerah. Mulai Lumajang, Probolinggo, Malang, Surabaya dan kota-kota lain di Jawa Timur. Mereka sengaja datang jauh-jauh dari berbagai kota untuk ngangsu kawruh bersama. Sayangnya, karena acara saresehan ini tidak ada panitianya, maka saya tidak sempat menyediakan buku tamu. Jadi mohon maaf! Nah, estimasi yang hadir saresehan sampai selesai akhirnya berjumlah sekitar empat puluh orang. Para peserta inilah yang punya niat dan tekad yang kuat untuk membaca fenomena alam dengan kebeningan hati nurani.

Bagi saya pribadi, tidak jadi soal berapapun jumlah peserta. Yang jelas saya percaya pasti Tuhan tidak akan tinggal diam. Dia akan mengutus manusia (berapapun jumlahnya) untuk belajar memahami misteri bencana alam dengan sudut pandang rasa pangrasa.

Dimoderatori oleh Ki Camat H.M Bahrul Amig, S.Sos, MM acara dibuka dengan salam. Ki Camat yang terkenal karena karya-karya kreatif, brilian dan menggunakan rasa pangrasa untuk membuat kebijakan publik semasa bertugas ini menyampaikan bahwa apapun yang lahir dari nurani yang tulus dan bersih akan dirasakan sebagai karya yang baik, tidak membuat residu (sampah) sebagaimana alam semesta yang berdiri di atas prinsip keikhlasan. Namun sebaliknya, residu hadir ketika hadir manusia yang tidak ikhlas. “Sumber kerusakan bumi adalah perbuatan manusia yang punya kecenderungan mengeksploitasi alam sak karepe dhewe” ujar Ki Camat.

Mendengarkan hal ini, Mas Kumitir (nama Aslinya Ali Aqsa) yang duduk di sebelah Ki Sabda Langit mengangguk-angguk tanda setuju. Mas Kumitir memang orang yang pendiam, banyak senyum, ramah bersahabat dan ringan tangan. Di balik wajahnya yang ganteng dan meditatif, sejatinya dia manusia terpilih karena kemampuannya untuk bersabar dalam ujian yang tidak tanggung-tanggung. Dia adalah seorang yang sampai sekarang memiliki guru pembimbing dari leluhur yang sudah ada di alam kelanggengan. Mas Kumitir terbiasa untuk mendapatkan petunjuk dari leluhur dengan cara yang bagi kalangan kebanyakan dianggap tidak masuk akal; melalui telepon dan SMS. Kadang nomor telpon si penelpon/pengirim SMS itu pun aneh dua, tiga, atau Cuma empat digit. Bahkan tak jarang nomor penelponnya 0 (nol). Perintah kepada Mas Kumitir pun kadang membuat jidat berkerut. Misalnya, diminta mengosongkan dompet tanpa uang sepersenpun untuk diberikan pada pengemis dan seterusnya. Atau pernah suatu ketika diminta bepergian dari kota ke kota tanpa tujuan yang jelas. Sang Pembimbing ini sudah menemani Mas Kumitir selama belasan tahun lalu. Itu sebabnya, dia sampai sekarang termasuk manusia yang dipandang mampu mengemban amanah sebagai jembatan penghubung alam nyata dengan alam ghaib. Aneh tapi nyata bagi kebanyakan orang. Namun bagi Ki Sabda dan sedikit para waskita/winasis apa yang dilakoni Mas Kumitir adalah sebuah tugas mulia. “Waktu yang akan membuktikan…” ujar Ki Sabda.

Nara sumber Ki Sabda Langit mulai dengan paparannya. Bencana alam terjadi di mana-mana. Bencana ini bukan sebagai cobaan bagi manusia. Namun teguran agar kita kembali harmoni dengan alam berdasarkan atas hukum alam/hukum sebab akibat. Manusia harus mampu membaca kehendak alam dan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan hanya bisa dibaca dengan mata batin yang bersih dari hawa nafsu yang mengotori manusia. Manusia yang hanya mengandalkan akal saja untuk menganalisa fenomena alam tidak akan mampu membaca kehendak alam. “Lumpur Lapindo sudah seharusnya terjadi. Akibat manusia yang mengabaikan hukum sebab akibat. Sebabnya, manusia tidak lagi menghargai alam. Awalnya terjadinya kenapa lumpur lapindo meluber adalah karena manusia tidak mengetahui dan menghargai keberadaan alam gaib. Di atas bumi ada mahluk gaib, di bawah bumi juga ada.

Suatu ketika, mata bor di sumur Banjar Panji 1 (pusat semburan Lumpur Lapindo) mengenai tubuh mahluk gaib perempuan (orang jawa menyebut makhluk ini naga perempuan). Makhluk gaib, naga laki-laki marah dan kemudian merusak lobang sumur pengeboran selama tiga bulan. Berbagai upaya penutupan pusat semburan dengan mengandalkan ilmu pengetahuan rasional terbukti gagal total,” ujar Ki Sabda.

Ki Sabda melanjutkan, bahwa bila saat itu pengambil kebijakan publik menggunakan rasa pangrasa maka penanganan secepatnya bisa menghentikan semburan lumpur. Namun apa yang terjadi? Pengambil kebijakan masih belum mampu membaca fenomena ini dengan kebeningan jiwa. “Jogjakarta dulu adalah kawasan semburan lumpur juga. Para pendahulu menggunakan rasa pangrasa untuk menutup lobang semburan ini dengan logam yang berbentuk gong. Jenis logam yang digunakan sebagai penutup adalah logam yang bisa bersenyawa dengan lumpur” jelasnya. Namun, bila upaya ini dilakukan sekarang pasti sudah sangat terlambat. Lumpur sudah menyembur tiga tahun lamanya. Artinya, hukum alam adalah hukum sebab akibat dan tidak bisa diulang lagi. (BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar