Rabu, 11 November 2009

REKREASI JIWA PALING NIKMAT

Ada satu satunya cara hidup bila ingin menikmati hidup: SHALAT KHUSYUK. Shalat adalah bentuk KOMUNIKASI DENGAN SANG MAHA TERKASIH ALLAH, PENCERAHAN, REKREASI JIWA yang tidak bisa ditandingi kenikmatannya dengan CARA apapun di alam semesta. Masalahnya, kemana pikiran harus kita arahkan saat kita melakukan ibadah shalat? Bila kita yakin bahwa shalat adalah meditasi tertinggi (meditasi transendental), maka seyogyanya kita pahami bagaimana menciptakan titik pikiran secara tepat sehingga shalat kita dikatakan khusyuk dan benar.

2Agama Islam memiliki satu ritual wajib yang dilakukan lima kali sehari, yaitu SHALAT. Dalam sehari, ada lima WAKTU SHALAT yaitu saat subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan Isya. Shalat juga merupakan RUKUN ISLAM artinya sesuatu yang wajib dilakukan bila manusia sudah memeluk agama ini. Rukun Islam ada lima: SYAHADAT, SHALAT, ZAKAT, PUASA dan BERHAJI.

Ada juga shalat yang sifatnya tidak wajib, yaitu Shalat Sunnah. Ada banyak ragam shalat Sunnah yang ada dalam Islam. Namun karena sifatnya Sunnah, maka shalat ini bersifat melengkapi shalat-shalat wajib. Meskipun bersifat melengkapi, shalat sunnah bila dilakukan secara khusyuk disertai dengan niat hanya mengharapkan keridhaan Allah, maka nilainya sungguh luhur. Saking hebatnya ibadah shalat, sehingga dikatakan bahwa SHALAT ADALAH SOKO GURU DAN PONDASI AGAMA.

Yang perlu diperhatikan, kesempurnaan ibadah shalat memiliki dimensi individual dan sosial. Dimensi individual adalah bagaimana shalat itu dijadikan sarana untuk BERKOMUNIKASI dengan Tuhan. Sementara dimensi sosial shalat adalah bagaimana shalat membawa dampak positif bagi lingkungan sosial masyarakat dimana individu yang melakukan shalat itu berada.

Pada dasarnya, hakikat shalat adalah mengajak manusia untuk MENYADARI KEBERADAAN TUHAN ITU DEKAT yang melampaui batasan ruang dan waktu sehingga kemanapun manusia berada maka DIA SELALU HADIR, MENGAWASI, MENJADI TEMAN PALING SETIA, DAN MENJADI KEKASIH YANG TIDAK PERNAH ABSEN SEDIKIT PUN UNTUK BERBAGI SUKA DAN DUKA sekaligus sebagai wujud KETUNDUKAN MANUSIA pada DZAT YANG SERBA MAHA DAN INFINITUM INI.

Kesadaran HAKIKAT SHALAT ini akan memiliki pengaruh kuat dalam mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sebagaimana dijelaskan dalam Ayat 45 surat Al-‘Ankabut “Sesungguhnya shalat itu mencegah [manusia] dari perbuatan yang keji dan mungkar.” Ini sudah masuk dimensi sosial shalat.

Seseorang yang berdiri untuk melakukan shalat dan mengucapkan TAKBIR, mengakui bahwa Allah swt.; Dzat yang MAHA LEBIH dari segala yang ada dan kita mengingat semua kenikmatan yang telah diberikan-Nya. Dengan mengucapkan syukur, ia memohon curahan kasih dan sayang-Nya, mengingat hari pembalasan, mengakui ketundukan, melakukan penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya, meminta petunjuk untuk mendapatkan jalan yang lurus, dan memohon perlindungan sehingga tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dimurkai oleh-Nya serta tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat.

Di dalam meditasi transendental shalat, pemusatan pikiran saat kita mengucapkan AL FATIHAH ini adalah MENGOSONGKAN GAMBARAN PIKIRAN APAPUN JUGA KECUALI GAMBARAN PIKIRAN YANG TIDAK DIBUAT OLEH KITA, MELAINKAN BIARKAN KITA MENERIMA GAMBARAN YANG DIBERIKAN OLEH TUHAN.

Kita pasrah, kita tidak lagi berusaha untuk fokus: semua penggambaran wujud Tuhan itu hanya dalam BAHASA, sedangkan saat shalat kita biarkan diri ini mengalir pasrah sehingga hidayah-NYA turun. Hidayah-Nya dalam Shalat ini berupa gambaran yang sangat tentang WUJUD-NYA, selain itu naik pada tingkatan bayangan dan gambaran yang paling dan sulit didapat dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh karena itu pengalaman dalam psikologi shalat ini disebut meditasi transendental yang susah untuk ditulis.

Awal kesadaran tertinggi tentang shalat sejatinya harus diikuti dengan tafakkur/berpikir tentang obyek-obyek kongkret sebelum akhirnya menuju ke obyek yang abstrak. PENGOSONGAN PIKIRAN DAN MELUPAKAN SEGALA KERUWETAN DALAM BENAK YANG DAPAT MENGGANGGU KEKHUSYUKAN SHALAT DAN KONSENTRASI PADA TUJUAN SHALAT: BAHWA KITA SEDANG BERHADAPAN DAN KOMUNIKASI DENGAN ALLAH.

Sebagaimana semua aktifitas lainnya, shalat juga butuh latihan. Khusyuk memang sulit namun bila berulang-ulang dilatih akhirnya juga akan mampu untuk PASRAH, TIDAK BERPIKIR TENTANG OBYEK SHALAT NAMUN MEMBIARKAN DIRI IKLHAS UNTUK HANYUT DALAM SHALAT.

Dalam taraf belajar shalat, bila pikiran kemudian melayang ke mana-mana maka seorang harus kembali mengonsentrasikan pikiran pada “apa” yang ia pilih sebagai objek pikiran dalam SHALAT. Ia harus mengambil posisi badan yang rileks, otot-otot tidak kaku. Latihan ini harus selalu diulang-ulang, sehingga tahap demi tahap berfikirnya menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, pikiran menjadi bersih, jiwa menjadi terbang ke langit yang keluasannya TIADA BERHINGGA. Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah, sedih, galau, dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.

Seorang mukmin akan mudah memahami psikologi shalat yang demikian karena memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tentang penciptaan langit dan bumi yang disertai dzikir dan bertasbih kepada objek yang MAHA TAK TERJANGKAU yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks, berbaring. Tujuannya adalah upaya melepaskan atau menjauhkan dari pengaruh yang menggangu konsentrasi, keruwetan angan-angan pikiran, perasaan, ataupun kebisingan dan keramaian.

Sebagaimana seseorang yang bertafakkur bertasbih, dan bermeditasi akan dapat menangkap makna dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak terlintas dalam hati. Keduanya mengunakan kedalaman tafakkur untuk membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas kehidupan material menuju kebebasan menatap lepas ke atas, menuju pengetahuan yang luas tak terbatas.

Bila shalat kita sudah khusyuk diri kita akan mampu keluar badan kecil ini. Jiwa kita menjadi tidak terikat dalam wujud jasmani, mempunyai keluasan wujud dan kemampuan “melihat tanpa bola mata”, “mendengar tanpa daun telinga” dan merasakan keuniversalam jiwa yang tak terbatas oleh waktu dan ruang. “Inilah jiwa” yang memiliki “watak” yang sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal yang membedakan adalah “kemana akhir kembalinya sang jiwa”

Dalam shalat, ada tahap yang disebut RUKU’ yaitu dengan membungkukkan badan, laksana seorang hamba dan meletakkan dahi di atas permukaan tanah di haribaan suci-Nya untuk MENGAKUI KEBESARAN DAN KEMULIAAN-NYA DAN TENGGELAM DALAM KEAGUNGAN-NYA, SERTA MENGHAPUS SEGALA EGO DAN KESOMBONGAN yang ada pada dirinya.

Lalu ia pun akan mengucapkan syahadat untuk memberikan kesaksian atas keesaan-Nya dan risalah Rasul-Nya. Setelah itu, ia mengirimkan shalawat kepada utusan-Nya yang mulia, Rasulallah saw. dan menengadahkan kedua tangannya di bawah mihrab sucinya-Nya untuk memohon belas kasih supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang salih. Semua faktor ini adalah sebuah rekreasi spiritual yang tidak ada bandingannya, terbakarnya semangat spiritual, sebuah gelombang besar yang mampu melebur ke DZAT TUHAN.

Di dalam salah satu hadis dikisahkan bahwa pada masa Rasulullah saw., terdapat seorang pria muda dari kaum Anshar yang senantiasa mengikuti shalat yang dilakukan oleh Rasul saw. Tetapi, pada sisi lain ia masih senantiasa bergelimang dalam berbagai maksiat. Lalu, hal ini disampaikan kepada Rasul saw. Mendengar laporan ini beliau bersabda, “Suatu hari nanti shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan-perbuatannya tersebut.”

Sedemikian pentingnya pengaruh shalat, hingga pada sebagian riwayat Islam disebutkan bahwa bias yang akan muncul dari pelaksanaan shalat akan menjadi tolok ukur apakah shalat yang dilakukan oleh seseorang telah diterima di sisi-Nya ataukah belum.

Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah shalat yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya”.

Bahkan, dapat diakui bahwa unsur utama dari pencegah perbuatan keji dan mungkar adalah mengingat/DZIKIR Allah). Pada prinsipnya, MENGINGAT ALLAH SWT. MERUPAKAN INTI DETAK KEHIDUPAN KALBU MANUSIA DAN PUNCAK KETENANGAN HATI. TIDAK ADA SESUATU PUN SELAINNYA YANG BISA MENCAPAI TINGKATAN SEMACAM INI.

Pembahasan tentang SHOLAT oleh karenanya bisa dirangkum sebagai berikut:
1. Sholat adalah ibadah terpenting dalam agama Islam setelah syahadat.
2. Hakikat dan filsafat shalat adalah mengingat Allah SWT.
3. Shalat merupakan media mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan bertaubat.
4. Shalat merupakan media penghibur luka, barutan, dan goresan dosa di dalam ruh dan jiwa manusia akan sembuh karena kemanjuran obat yang berbentuk shalat.
5. Shalat merupakan tanggul penghalang berbuat keji dan jahat
6. Shalat menguatkan iman di dalam kalbu manusia dan menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam hati.
7. Shalat akan menghancurkan kelalaian terhadap tujuan penciptaan dan tenggelam dalam kehidupan materi serta kelezatan-kelazatan duniawi yang hanya sekejap.
8. Dengan shalat, kehadiran-Nya terasa dekat.
9. Shalat menghilangkan kesombongan EGO dan merendahkan diri di hadapan-Nya.
10. Shalat itu penyempurnaan akhlak
11. Shalat menghidupkan hakikat keikhlasan dalam beramal
12. Shalat membawa kesucian hidup
13. Shalat itu Penguat Semangat Disiplin

Meskipun tanpa memperhatikan kandungan yang ada di dalam shalat pada hakikatnya ia mengajak manusia untuk hidup dalam kesucian. Hal ini dapat kita ketahui dari syarat tempat yang dipergunakan untuk melakukannya, pakaian yang dikenakan, alas dan air yang dituangkan untuk berwudhu serta mandi. Dan juga tempat yang dipergunakan oleh seseorang untuk mandi dan berwudhu harus merupakan tempat yang betul-betul tidak terkotori oleh ghasab dan tidak diperoleh dengan cara zalim dan melanggar hak-hak orang lain.

Seseorang yang terkotori dengan kezaliman, ternodai oleh sifat-sifat nafsu manusia seperti riba, ghasab, mengurangi timbangan dalam transaksi, korupsi dan usaha-usaha yang dilakukan dengan menggunakan kekayaan dari sumber yang haram, bagaimanapun akan mengotori ruhaninya sehingga akan melunturkan diri yang telah shalat. Oleh karena itu, pengulangan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam merupakan sebuah AJAKAN UNTUK MENGHORMATI HAK-HAK ORANG LAIN.

Shalat juga akan menguatkan semangat disiplin dalam diri manusia, karena bagaimanapun juga, shalat harus benar-benar dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan mengakhirkan atau mempercepat dari waktu yang seharusnya akan menyebabkan batalnya shalat yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan aturan dan hukum-hukum lain dalam masalah niat, berdiri, ruku’, dan sujud. Memperhatikan semua ini akan menumbuhkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari menjadi betul-betul mudah dan lancar.

Terakhir, pembahasan tentang shalat akan ditutup dengan sebuah hadis; Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. suatu ketika ditanyakan tentang makna shalat “Tujuan disyariatkannya shalat adalah PENGAKUAN TERHADAP KETUHANAN ALLAH SWT, MELAWAN SYIRIK DAN PENYEMBAHAN BERHALA, BERDIRI DI HADAPAN HARIBAAN-NYA DALAM PUNCAK KEKHUSYUKAN DAN KERENDAHAN DIRI, MENGAKUI DOSA-DOSA SERTA MEMOHON PENGAMPUNAN-NYA TERHADAP DOSA-DOSA YANG TELAH DILAKUKANNYA, DAN MELETAKKAN DAHI UNTUK HORMAT KEPADA-NYA.

Demikan juga, tujuan disyariatkannya shalat adalah supaya manusia senantiasa TERJAGA, AWAS ELING DAN WASPADA. Hati yang tercerahkan tanpa ada keakuan yang berlebihan, tidak sombong dan mabuk dengan diri dan hartanya, agar manusia menjadi orang-orang yang khusyu’ dan tawadhu’, serta mencari dan mencintai TUHAN. Selain konsistensi doa-doa kepada Allah sepanjang hari dan malam yang dihasilkan dari sinar shalat, shalat akan membuat manusia menemukan JATI DIRI YANG SESUNGGUHNYA.

Insya Allah.


MENCAPAI INTI DOA

Awalnya ini adalah jawaban dari pertanyaan Sahabat Terkasih– Ki Sabda Langit tentang HIJIB, yang ternyata mengantarkan perenungan kepada hakikat doa. Atas kekurangbenaran artikel ini, saya mohon maaf karena ini sekedar refleksi dari saya pribadi.

womanbendingSalam saya haturkan kepada Allah SWT, satu-satunya Tuhan di semesta alam, junjungan Nabi Muhammad SAW kekasih-Nya dan keluarga, para Nabi dan Rasul, wali-wali-Nya, umat Islam, umat Kristen, umat Protestan, umat Hindu, umat Budha, umat Kong Hu Chu, macam-macam penganut alirat kepercayaan, ulama, intelektual, kaum sufi, kaum terpinggirkan dan tersisihkan, kaum miskin papa, serta kaum yang tidak saya ketahui dimana pun kini berada. Serta seluruh makhluk penghuni jagad raya….

Ki Sabda, ngapunten sebelumnya. Rasa-rasanya saya kok tidak pantas untuk memberikan penjelasan karena masa sih saya menjelaskan kepada yang lebih tahu? Apakah nanti tidak kuwalat, ki? Tapi sebagai wujud asah asih asuh maka mungkin ada baiknya juga kita sharring pengetahuan.

Ki Sabda bertanya tentang beda antara HIJAB dan HIJIB. Dalam kamus perbendaharaan agama, HIJAB artinya tabir, selubung, dinding yang dalam istilah para sufi lebih mengarah pada sesuatu yang bersifat ruhaniah, sifat-sifat kotor manusia, nafsu (berbagai jenis), keterbelakangan akal, ketersesatan akal, keterbenaran akal yang belum sujud dll.

Adapun HIJIB, Hizb, Hizib artinya DOA atau kumpulan doa dari para alim-ulama, syaikh yang diyakini oleh kalangan tertentu memiliki energi yang hebat untuk mengetuk pintu langit. Membuka kunci gudang kegaiban karena kelembutan dan tuning yang pas dengan kehendak-Nya. Di masyarakat Islam khususnya, kita mengenal banyak hijib. Hijib yang terkenal di antaranya Hizbun Rifa’i oleh Syaikh Ahmad Rifai, Hizbun Nasor oleh Syaikh Abi Hasan Asy Syadili, Hizbun Nawawi oleh Imam Nawawi, dan sebagainya.

Saya sejatinya termasuk orang yang belum begitu paham, kenapa ada doa-doa yang diijabahi/di-ACC oleh Tuhan dan kenapa pula ada doa yang belum/tidak di-ACC. Tapi dengan prasangka yang baik bahwa diijabahinya doa atau tidak, Tuhan sesungguhnya lebih tahu kepantasan apakah satu doa itu harus diterima atau tidak.

Pada kesempatan kali ini ada baiknya kita menganalisis secara filsafati soal doa sehingga akhirnya kita semua memahami hakikatnya. Meskipun kita tetap tidak percuma untuk berdoa meskipun belum mengetahui hakikat doa, tapi saya rasa akan lebih sreg bila kita yang alhamdulillah dikaruniai akal budi ini untuk memikirkannya, sesuatu yang kita ucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bukankah kunci ibadah adalah doa? Bukankah dari dari doa tercermin siapa diri kita sesungguhnya? Bukankah dari doa tercermin perilaku dan tata cara kita mengolah kedirian?

Mereka yang tidak mengenal hakikat doa mungkin berpendapat bahwa doa merupakan faktor yang melumpuhkan manusia: “Bukan saatnya lagi hanya menengadahkan tangan untuk meminta sesuatu kepada Tuhan, sudah seharusnya kita melakukan usaha, memanfaatkan sains dan teknologi, serta mengisi kesuksesan yang dicapai justeru dengan doa bukankah membuat orang malas berusaha?”

Ada yang berpendapat sbb: “Pada prinsipnya, apakah berdoa bukan berarti ikut campur dalam pekerjaan-pekerjaan Allah? Padahal kita mengetahui bahwa apapun yang menurut Allah baik untuk dilakukan, maka Dia pasti akan melakukannya. Dia mempunyai rasa kasih sayang kepada kita. Dia lebih mengetahui kebaikan untuk diri kita dibanding diri kita sendiri. Oleh karena itu, mengapa kita harus menginginkan sesuatu dari-Nya setiap saat?”

Di saat lain ada yang berpendapat: “Selain dari semua yang telah tersebut di atas, bukankah doa justru bertentangan dengan keridhaan dan penyerahan diri pada kehendak Allah?”

Kritikan dan sanggahan semacam ini sebenarnya belum memahami kenyataan psikologis, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek spiritual doa dan ibadah. Karena pada dasarnya, untuk meningkatkan kemauan dan menghilangkan segala kegelisahan, manusia membutuhkan kehadiran sesuatu yang bisa dijadikan media untuk menyandarkan dan menggantungkan kepercayaannya. Dan doa adalah pelita harapan di dalam diri yang diliputi kegelapan.

Masyarakat yang melupakan doa dan ibadah, pastilah akan berhadapan dengan reaksi yang tidak sesuai dengan psikologi sosial. Ketidaaan ibadah dan doa di tengah-tengah suatu bangsa sama artinya dengan kehancuran dan keruntuhan bangsa tersebut. Sebuah masyarakat yang telah membunuh rasa butuh kepada doa dan ibadah biasanya tidak akan pernah terlepas dari keruntuhan dan kemaksiatan.

Tentu saja, jangan kita lupakan bahwa beribadah tidak hanya di saat saat tertentu saja dan menjalani waktu yang ada seperti seekor binatang liar yang membunuh sana-sini tidak ada manfaatnya sedikitpun. Ibadah dan doa harus dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan, pada setiap kondisi, dan melakukannya dengan penuh khidmat sehingga manusia tidak akan kehilangan pengaruh kuat dari doa ini.

Mereka yang setuju dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh doa, tidak memahami hakikatnya. Karena doa bukanlah berarti kita menyingkirkan dan melepaskan tangan dari segala media eksternal dan faktor-faktor alami, lalu menggantikannya dengan berdoa.

Maksud dari doa adalah setelah melakukan segala usaha dalam mengunakan seluruh fasilitas kemanusiaan yang ada, barulah kita berdoa untuk menghidupkan semangat harapan dan gerak dalam diri kita dengan memberikan perhatian dan menyandarkan diri kepada Allah SWT, Sebab Utama Bergeraknya Jagad Raya ini.

Namun sesungguhnya doa tidak hanya dikhususkan pada persoalan-persoalan yang menemui jalan buntu, bukan sebagai sebuah faktor yang menggantikan faktor-faktor natural. Selain akan memberikan ketenangan, doa juga akan menghidupkan gairah batin dalam aktifitas otak manusia, dan terkadang pula akan menggerakkan hakikat manusia sebagai makhluk yang paling mulia.

Dalam kenyataannya, doa akan menampakkan karakternya dengan indikasi-indikasi yang sangat khas dan terbatas dalam diri setiap manusia. Doa akan menampakkan kejernihan pandangan, keteguhan perbuatan, kelapangan dan kebahagiaan batin, wajah yang penuh keyakinan, dan potensi hidayah. Doa oleh karenanya menceritakan tentang bagaimana menyambut sebuah peristiwa. Ini semua merupakan wujud sebuah hazanah harta karun yang tersembunyi di kedalaman ruh kita. Dan di bawah kekuatan ini, harta orang-orang yang mempunyai keterbelakangan mental dan minim bakat sekalipun, akan mampu menggunakan kekuatan akal dan moralnya dan mengambil manfaat yang lebih banyak darinya. Ironisnya, di dunia kita ini sangatlah sedikit orang-orang yang mau untuk mengenali secara mendalam hakikat doa.

Jelaslah sekarang bahwa doa sesungguhnya sejalan dengan ridha (kerelaan) diri kita untuk mengakui keterbatasan, mensyukuri yang sudah ada serta mengarahkan kepasrahan kepada kehendak Tuhan. Dengan perantara doa pula manusia akan menemukan perhatian yang lebih banyak untuk memahami berkah Allah swt. Ini jelas merupakan usaha untuk mencapai kesempurnaan manusia dan sebagai bentuk penyerahan diri pada hukum-hukum penciptaan. Selain itu semua, doa merupakan ibadah, kerendahan hati, dan penghambaan. Dengan perantara doa, manusia akan menemukan cara baru berkomunikasi terhadap Dzat Allah.

Dan apabila dipertanyakan, “Doa berarti campur tangan di dalam pekerjaan Allah. Padahal, Allah akan melakukan apapun yang menurut-Nya bermaslahat”, mereka tidak memperhatikan bahwa karunia Ilahi akan berikan berdasarkan kelayakan yang dimiliki oleh setiap orang. Semakin besar kelayakan seseorang, maka ia akan mendapatkan karunia Allah secara lebih banyak pula. Sebagaimana Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, “Di sisi Allah SWT terdapat sebuah kedudukan di mana seseorang tidak akan sampai ke sana tanpa melakukan doa.”

Sebagai penutup, doa, shalat, dan iman yang kuat terhadap agama akan menghilangkan kegelisahan, ketegangan, dan ketakutan-ketakutan yang merupakan penyebab dari separuh kegundahan manusia dalam peradaban modern yang semakin menjauhkannya dari jati dirinya sendiri sebagai makhluk yang memiliki hati nurani yang mampu menerobos tembus (tadabbur) ke arasy Tuhan.

Salam asah, asih dan asuh dan mohon koreksi dari Pembaca Terkasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar