NGLURUK TANPA BALA, SUGIH TANPA BANDA, SAKTI TANPA AJI, MENANG TANPA NGASORAKE
“Bismillahirrohmaanirrohiim. Niat ingsun amatek Aji Pancasona, Ana wiyat jroning bumi, Surya murup ing bantala, Bumi sap pitu anelehi sabuwono, Rahina ta keno wengi, urip tan kenaning pati, Yo ingsun pangawak jagad, mati ora mati, Tlinceng geni tanpo kukus, Ceng-cleceng, Ceng-cleceng, Kasonggo ibu pertiwi, Mustiko lananging jaya, Yo aku si Pancasona, Ratune nyowo sekelir”
Mantra untuk matek Aji Pancasona ini hanyalah sekedar pintu pembuka artikel sederhana ini; kisah ringan subyektif ini adalah kenangan saat masih berusia remaja. Kebetulan, saya memiliki seorang paman seorang pendekar dari perguruan silat dari Cempaka Putih. Mas Entok nama si paman ini bertempat tinggal di Lereng Gunung Lawu, sisi paling barat Propinsi Jawa Timur. Tepatnya di Desa Kuniran, Kecamatan Sine, Ngawi.
Usia remaja adalah usia di mana keinginan untuk menjadi sakti, andalan, gagah-gagahan, tidak terkalahkan, pengen jadi jawara. Keinginan yang sangat manusiawi ini juga tiba-tiba menimpa saya. Pada suatu ketika, keinginan ini mendapat penyaluran setelah ketemu dengan Mas Entok. Singkatnya, saya pun diajari berbagai jurus silat dan ilmu-ilmu kanuragan dalam satu kurun waktu.
Salah satu dari berbagai amalan yang diberikan Mas Entok adalah Aji Brajamusti. Ini konon aji kebanggan para pendekar karena merupakan perisai badan yang ampuh. Menurut Mas Entok, orang yang mempunyai aji brajamusti mempunyai kekuatan badan dan kekuatan gaib yang pilih tanding. ”Tidak boleh digunakan sembarangan dik, karena bisa membahayakan nyawa lawan. Jangan gunakan kalau tidak terpaksa. Kamu bisa kebal berbagai senjata tajam. Senjata yang ampuh bagaimanapun kalau terkena aji brajamusti pasti akan tawar, tak bertuah,” ujarnya.
Terkagum-kagum akan penjelasan Mas Entok, saya pun nglakoni amalan-amalan yang berat untuk memperoleh ajian ini. Di antaranya adalah berpuasa tujuh hari dalam satu bulan selama satu tahun. Saat puasa, setiap usai sholat fardhu, mantera aji dibaca sebanyak banyaknya 41 kali. Setelah selesai puasa, mantera dibaca satu kali lalu dihembuskan pada kedua tangan sambil membaca “ya qawiyyu ya matiin” 1000 kali
Mantra untuk matek aji Brajamusti ini kalau tidak salah ingat sebagai berikut: ”Bismillahirrohmanirrohiim, Sun matek aji ajiku Brajamusti, Terap-terap, Awe-awe, Kuru-kuru, Griya gunting drijiku, Watu item ing tanganku, Sun tak antem, Laa ilaaha ilalloh Muhammadur rasululloh.”
Dasar tidak ada darah pendekar, berbagai ilmu kanuragan yang sudah saya kuasai tidak pernah sekalipun terpakai. Bahkan untuk menyakiti semut pun insya allah saya hindari. Lebih baik tidak menggunakan ajian-ajian apapun jika pada akhirnya hanya akan memperbanyak musuh. Atau malah lebih parah lagi, berurusan dengan aparat keamanan. Atau malah nyerimpeti laku saya untuk bertemu Gusti Allah.
Memang, harus saya akui bahwa ada kalanya emosi meletup-letup tak terduga. Karena ada stimulus dari luar yang merelakan saya untuk marah, bahkan sering sampai berkelahi. Tapi ya itu tadi, tidak ada nafsu untuk membunuh sesama, apalagi dengan menggunakan ilmu-ilmu kanuragan seperti yang saya amalkan.
Singkatnya, saya dan mungkin para pembaca yang budiman juga melewati fase yang sama. Yaitu fase dimana ego kita cenderung ingin mengalahkan ego yang lain dengan penaklukan dan hegemoni meskipun harus ditempuh melalui jalan dan cara-cara kekerasan. Namun ada kalanya, dan ini saya syukuri adalah datangnya fase dimana kita menyadari bahwa ego adalah iblis yang berasal dari naar (api): tempat sifat-sifat buruk dan menyesatkan. Sementara untuk memperoleh hidayah dari Gusti Kang Murbeng Jagad, konon manusia harus membersihkan diri sebelum akhirnya Malaikat yang berasal dari nuur (cahaya-Nya) datang kepada wadah yang sudah bersih.
Dulu saya adalah kolektor berbagai macam ajian, sikep, batu-batu akik, keris dan senjata-senjata lain. Barang-barang klangenan yang saya letakkan di kamar ini saya dapatkan dalam fase pencarian yang panjang dan tidak seketika. Paling banyak saya peroleh saat saya gemar berguru ke banyak paranormal sambil liputan untuk sebuah media mistik yang terbit di Jakarta. Karena terlalu sering bertemu dengan paranormal dari berbagai kalangan di berbagai daerah, saya juga sering mendapatkan ”oleh-oleh” yaitu beragam benda-benda bertuah tadi.
Bertemu dengan banyak paranormal dari berbagai aliran, bagi saya sungguh sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Mulai paranormal yang beraliran Jawa, Islam, Cina, Budha, Hindu dan lainnya. Salah satu paranormal yang cukup unik dan lebih mirip sufi adalah MBAH WALIJO. Si Mbah yang sudah bertapa sejak tahun 1960 ini tinggal di sebuah gubuk yang lebih mirip kandang kambing, di lereng perbukitan di dekat pantai Parangtritis Yogyakarta. Paranormal ini terkenal di seantero Kota Bantul DIY, dan beberapa kali pernah dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta karena pernah membantu mengangkat bus yang terperosok di pantai parangtritis. Konon saat itu bus itu dipegangi oleh Mbah Bledug, penunggu pantai yang tidak lain para punggawa Kerajaan Pantai Selatan.
Dari MBAH WALIJO saya mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana cara untuk bertemu dengan makhluk halus: ”Semedi tidak usah lama, sekitar sepuluh menit di malam hari di bawah grojokan le…” ujarnya santun. Apa yang saya dapat dari Mbah Walijo berbeda dengan yang saya dapat dari paranormal Bambang Yuwono, Suhu Acai, Ki Macan Putih, dan suhu-suhu yang lain….. . Itulah saat saya giat-giatnya getol mengolah diri, nyepi di kuburan-kuburan, tapa di sungai, dan berbagai olah batin lainnya.
Ada pula pengalaman saya bertemu orang tidak mau dikatakan paranormal. Dia hanyalah ingin nglakoni apa yang dia sendiri tidak tahu. Dia berada di wilayah pedalaman Kabupaten Sleman. Cara bertapanya sangat unik dan gila: duduk di bawah pohon sawo hingga bertahun-tahun, tidak masuk ke dalam rumah meskipun hujan dan angin ribut! ”Pohon ini tampak terang benderang kalau malam hari, dan saya merasa bahagia ada di bawahnya,” tegasnya memberi alasan tindakannya yang tidak masuk akal tersebut.
Pada suatu ketika, fase hidup yang saya jalani berubah total. Saya mengalami kebosanan dengan sang aku. ”Aku harus menjadi aku yang benar-benar baru. Yang mampu untuk meredam, memendam dan menguasai emosi yang sedalam dalamnya dan menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama dengan cara-cara yang santun, masuk akal dan sederhana.” Itulah tekad saya saat itu. Untuk mewujudkan semangat menjadi aku yang baru ini, tak pelak benda-benda klangenan ini pun saya berikan kepada orang-orang lain, sisanya ada yang saya bakar. Termasuk yang saya lakoni untuk bertobat ini adalah melanggar pantangan amalan ilmu-ilmu gaib tadi.
Niat saya saat itu sederhana: agar tidak ada lagi pagar gaib yang nantinya justeru membebani saya saat akan memasuki dimensi ruhaniah yang lebih halus. Entahlah, apakah tindakan saya ini benar atau salah. Yang jelas keyakinan saya bahwa benda-benda bertuah akan nyerimpeti perjalanan ruhani ini muncul setelah perenungan yang lama. Salah satunya kejadian yang menimpa nenek saya, seorang tokoh agama di Ngawi, Jawa Timur saat menjelang ajal tiba.
Mbah Dunainah, nama nenek saya ini semasa hidup terkenal kezuhudannya. Pada suatu ketika saat simbah berhaji di tanah suci ada makhluk halus yang ingin menjadi muridnya dan pulang ke tanah air. Dan ini yang akhirnya jadi pangkal perkara, saat menjelang ajal sang makhluk halus tidak rela nyawa simbah dicabut sehingga ajal simbah tidak segera datang. Tubuhnya yang semakin lemah dan lemah membuat mulutnya tidak bisa bergerak lagi untuk mengatakan apapun. Konon, nyawanya digondeli si makhluk halus tadi! Akhirnya pertolongan datang juga. Disarankan agar keluarga besar kami mengadakan selamatan dan dengan ritual khusus, dan memohon agar makhluk halus muridnya Mbah Dun tadi rela untuk pergi. Akhirnya ajal simbah benar-benar tiba. Alhamdulillah…
Kejadian kedua menimpa juga oleh Simbah Rin—begitu kami menyebut saudara Mbah Dun. Simbah ini akhirnya juga kesulitan untuk meninggal dunia hanya gara-gara memiliki ilmu kanuragan yang tidak bisa dilepasnya sendiri. Dan akhirnya setelah pengapesannya ditemukan: sebuah sabuk yang melingkar di perutnya dipotomng, nyawa Simbah Rin ini pun bisa menghadap Ilahi dengan tenang.
Kini, setelah saya tidak menggenggam satupun ilmu-ilmu gaib tadi, insya allah, Tuhan memberikan saya sifat lebih sabar dan ikhlas untuk urusan-urusan yang harus bergesekan dengan manusia atau makhluk lain. Jika bisa saya hindari, kenapa harus mencari-cari masalah? Lebih baik ngalah daripada harus menang di atas penderitaan orang lain. Lebih baik orang lain yang menang dari saya daripada saya yang mengalahkanya. Apa hebatnya jadi pemenang? Sekarang, saya lebih memegang filosofi Jawa yang sangat luhur dan tinggi nilainya: ”Ngluruk Tanpa Bala, Sugih Tanpa Banda, Sakti Tanpa Aji, Menang tanpa Ngasorake,….”
Sekarang bila kangen akan pertumpahan darah, saya sesekali hanya menonton film Jet Li di televisi. Ciatttttttt……..Semoga bisa menjadi inspirasi bagi kawan-kawan muda dan ngapunten bila ada yang tidak berkenan.
METAFISIKA WAHDATUL WUJUD
PROBLEM seputar masalah YANG ADA merupakan problem yang berat. Artikel ini bersandar pada teori YANG ADA dari khasanah Metafisika Islam yaitu Mulla Sadra. Meskipun pendek, diharapkan agar bisa menjadi titik pijak untuk memahami metafisika KESATUAN TUHAN atau WAHDATUL WUJUD yang terkenal dengan tokoh-tokoh sufinya seperti Al Hallaj maupun Syeh Siti Jenar.
Dasar dari Filsafat adalah Metafisika. Metafisika dibagi menjadi METAFISIKA UMUM disebut dengan ONTOLOGI, dan METAFISIKA KHUSUS yang terdiri dari KOSMOLOGI, FILSAFAT MANUSIA atau ANTROPOLOGI METAFISIK dan FILSAFAT KETUHANAN atau TEODICEA.
Di antara tema-tema METAFISIKA UMUM yang paling banyak melahirkan kontroversi adalah problema YANG ADA. Sebab hakikatnya terasa ribet dan ruwet. Hal ini lantaran YANG ADA merupakan sesuatu yang repot bila didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu objek, kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara YANG ADA itu adalah obyek sekaligus juga subyek karena kita ada didalam YANG ADA.
Menurut para filsuf, konsepsi YANG ADA sedemikian terangnya, sehingga ia persis menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak mungkin bisa dilihat manusia. Demikianlah YANG ADA. Begitu jelasnya YANG ADA, maka ia tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus dan diferensia, yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang YANG ADA itu sendiri.
Secara historis, tema YANG ADA menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan oleh hampir seluruh filsuf klasik sejak Thales di era Yunani Kuno sampai Josiah Royce di era Modern. Namun harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih sekadar menempatkan problematika YANG ADA sebagai bagian dari tema-tema universalitas saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksidensi, unitas dan pluralitas, dan sebagainya.
Sejak kehadiran Mulla sadra, lahirlah mazhab filsafat EKSISTENSIalisme dalam komunitas Muslim. Namun, EKSISTENSIalisme Sadra sangat berbeda dengan mazhab EKSISTENSIalisme seperti Kierkegaard, Jean Paul Sartre, atau Heidegger.
EKSISTENSIalisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada YANG ADA SEBAGAIMANA YANG ADA yang sebenarnya (the Ultimate Reality). Dengan demikian, nuansa metafisika YANG ADA dalam Islam lebih bersifat teistik bahkan sufistik; sementara aliran filsafat EKSISTENSIalisme barat sebagiannya condong pada ATEISME.
Untuk bisa memahami metafisika YANG ADA, ada baiknya kita batasi pembahasan hanya pada teori Mulla Sadra tentang YANG ADA. Konsep Sadra berdiri di atas tiga prinsip dasar yang sangat fundamental. Dengan memahami ketiga prinsip ini, diharapkan kita akan dengan mudah memahami teori-teori filsafatnya yang lain, baik yang berkaitan dengan kosmologi, epistimologi, dan bahkan teologinya. Ketiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut: WAHDATUL WUJUD (KESATUAN YANG ADA), TASYKIKUL WUJUD dan ASALATUL WUJUD. Kita akan mengelaborasi ketiga prinsip ini secara sederhana.
Secara historis, teori WAHDATUL WUJUD pada mulanya adalah teori yang disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang filsafat. Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang sangat ekstrem sampai moderat. Mungkin yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab’in yang menyatakan bahwa hanya TUHAN YANG EKSIS sementara selain Tuhan tak ada yang eksis. Ada lagi yang ekstrem yang menyatakan bahwa SELURUH YANG BERWUJUD SELAIN TUHAN HANYALAH TAJALLIYAT (MANIFESTASI) DARI ASMA’ DAN SIFAT-SIFAT TUHAN.
Namun Sadra melihat bahwa YANG ADA SEBAGAI YANG ADA meskipun SATU, namun ia memiliki intensitas yang membentang dari yang nama YANG ADA. Sifat YANG ADA-nya TUHAN MUTLAK, sementara yang ada lain hanya bersifat YANG ADA DALAM KEMUNGKINAN. Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri. YANG HARUS ADA berbeda dengan YANG MUNGKIN ADA.
Teori WAHDATUL WUJUD sebagai teori tentang YANG ADA menekankan pada KESATUAN YANG ADA yang hadir pada segala sesuatu. Tuhan MEMILIKI SIFAT YANG ADA, begitu juga dengan manusia, benda-benda mati. Apakah YANG ADA setiap satu dari mereka sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru ADA KARENA ADANYA YANG LAIN. Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara YANG ADA-NYA TUHAN dengan YANG ADA selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa membayangkan bahwa YANG ADA itu SATU, sementara di dunia YANG ADA kita menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Lalu berapa jumlah YANG ADA?
Persoalan itu dalam metafisika dikenal dengan istilah problem antara YANG SATU DAN YANG BANYAK. Pertama, ada yang disebut dengan istilah composite existence dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini maka YANG ADAnya pasti akan terbatas.
Kedua, the Simple Existent, di mana jenis YANG ADAnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya ia tidak pernah terbatas. YANG ADA ini hanya milik TUHAN saja di mana YANG ADANYA merupakan WUJUD-Nya itu sendiri. Simplifikasi jenis YANG ADA TUHAN ini disebut Sadra dengan istilah basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa YANG ADA yang bersifat sederhana adalah YANG ADA yang mencakup seluruh entitas yang disebut “sesuatu”.) Karenanya mengikut formula ini, YANG ADA manusia adalah bagian inheren dari YANG ADA TUHAN.
Prinsip WAHDATUL -WUJUD atau KESATUAN YANG ADA dalam filsafat Sadra ini yang melihat KESATUAN YANG ADA terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai YANG ADA INDIVIDUAL sampai YANG MUNGKIN ADA yang beraneka ragam dan bervariasi, sehingga YANG ADA memiliki sistematisasi.
Menurut aliran filsafat ESENSIALISME, ESENSI tak mengalami perubahan. Yang berubah adalah instansi-instansi partikularnya. Ketika warna putih mengalami intensifikasi warna, itu berarti bahwa warna dahulu hilang dan lahir warna baru yang menggantikannya.
Sadra menolak teori ini. Mereka melihat bahwa suatu ESENSI tidak pernah mengalami perubahan. Suatu ESENSI bisa saja memiliki wilayah intensitas yang tak terbatas. Ketika warna putih mengalami intensifikasi, bukan hanya ke-putih-annya yang tetap, bahkan “putih”nya juga tetap. Jadi semua yang disebut ESENSI memiliki kapabilitas untuk menjadi “more or less”: semua manusia bisa jadi “lebih” atau “kurang” manusia dari manusia lain. “Manusia” dan “kemanusiaan” Muhammad saw lebih sempurna dari manusia dan kemanusiaan kita.
Ini adalah teori “MORE PERFECT AND LESS PERFECT” yang kemudian dimodifikasi oleh Sadra. Pertama, prinsip ambiguitas ini dirubahnya dari ambiguitas ESENSI menjadi ambiguitas dalam EKSISTENSI. Dengan kata lain, yang mengalami graditas bukan ESENSI, tapi justru EKSISTENSInya. Kedua, teori ambiguitas EKSISTENSI ini juga terjadi secara sistematis bukan sekadar ambiguitas. Itu berarti, EKSISTENSI adalah sama bagi seluruh EKSISTENSI, seperti EKSISTENSI Tuhan yang wajib dan makhluk yang mungkin, adalah sama apabila dilihat dari sisi predikat EKSISTENSInya.
Meskipun predikat EKSISTENSI di atas sama namun setiap EKSISTENSI tetap memiliki keunikannya tersendiri yang memisahkannya dari yang lain. Seluruh bentuk EKSISTENSI yang lebih tinggi pasti mengandung bentuk EKSISTENSI yang lebih rendah bahwa EKSISTENSI yang sederhana pasti mencakup secara inheren segala EKSISTENSI yang berada di level bawahnya.
Dengan dasar prinsip di atas KESATUAN YANG ADA terpelihara pada semua EKSISTENSI; namun keragamannya juga terpelihara. Ketika dua prinsip di atas tak terbantahkan secara common sense, maka lahirnya prinsip YANG ADA adalah sesuatu yang aksiomatis. YANG ADA berarti bahwa YANG ADA adalah prinsip dari segala wujud yang ada. Lawan darinya adalah prinsip bahwa YANG ADA sekadar asumsi akal. Perbedaan kedua prinsip ini secara historis telah lahir jauh sebelum munculnya Sadra, seperti yang dapat kita simak dari teori-teori Farabi, Ibnu Sina, bahkan Aristoteles.
Sesuatu memerlukan YANG ADA agar ia bisa eksis. Tanpa YANG ADA, suatu hal tidak akan pernah bisa berEKSISTENSI, suatu YANG ADA tidak akan bisa memperoleh partikularisasinya di dunia YANG ADA. Teori dualitas antara YANG ADA ini kemudian ditolak secara tegas oleh pekikir Islam lain, Suhrawardi. Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat sebagai EKSISTENSI di dunia YANG ADA adalah YANG ADA itu sendiri. Sebab, apabila kita terima teori itu, maka YANG ADA itu sendiri akan memerlukan YANG ADA lain yang bisa memberinya EKSISTENSI; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinitum.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa suatu YANG ADA yang konkrit tiada lain adalah sebuah fakta bahwa itu adalah YANG ADA itu sendiri. Sehingga kalimat YANG ADA tiada lain kecuali abstraksi akal semata-mata.
Sadra yang EKSISTENSIALIS dan yang berusaha maksimum untuk mensintesiskan kedua aliran ini menolak pendapat Suhrawardi. Baginya yang riil adalah YANG ADA, sementara ESENSI adalah abstraksi mental semata-mata. YANG ADA bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh YANG ADA, namun ia adalah YANG ADA itu sendiri. Sebab sifat YANG ADA yang paling fundamental yakni SEDERHANA dan berkarakter MENYEBAR ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai EKSISTENSI.
Dan EKSISTENSI yang ada di hadapan kita tidak lebih pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan YANG ADA itu sendiri. Ketika kita melihat di dunia YANG ADA ini ADA, misalnya, kursi, meja, si Amir, kuda, dan sebagainya, maka entitas-entitas itu “membelah” dari bentangan YANG ADA.
Akhirnya, secara teologis, konsep YANG ADA dari Mulla Sadra di atas mengajak kita memahami makna the ULTIMATE REALITY di mana ADA-NYA TUHAN memiliki sifat partikular juga menyatu dalam maknanya yang sangat unik. Meskipun WAHDATUL WUJUD atau YANG ADA ITU MENYATU namun tidak terjebak pada teori PANTEISME, karena YANG ADA entitas-entitas selain-Nya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan firman Allah “AKU LEBIH DEKAT DENGANMU DARIPADA DIRIMU SENDIRI.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar