RAHASIA JANIN
Melanjutkan kisah Rahasia Di Balik 40 Hari pada thread terdahulu, kali ini saya ingin berbagi pengalaman berhubungan dengan rahasia dan apa yang terjadi dengan janin selama “bertapa” 9 bulan berada di dalam goa garba (rahim) ibu. Pengalaman ini kiranya perlu saya sampaikan dengan harapan dapat diambil manfaatnya. Terutama bagi saudara-saudara, para pembaca yang budiman yang selalu membuka pikiran dan hati untuk menggali wawasan yang lebih luas lagi. Anggap saja tulisan saya ini sebagai tantangan bagi para ahli medis untuk melakukan penelitian sebagai upaya pembuktian. Sejak terjadi pembuahan oleh sel sperma terhadap sel telur, sejak itu calon janin segera membutuhkan makanan yang diperolehnya melalui penyerapan sari makanan dari ibunya. Selanjutnya janin atau embrio yang berusia 40 hari sudah memiliki ruh atau sukma. Hal ini tentunya agar dapat dijadikan paugeran para dokter kandungan atau anak, serta siapapun bila ingin melakukan tindakan medis seyogyanya dapat menjadikannya bahan pertimbangan. Sebab bila sampai terjadi resiko kematian –apalagi bila dilakukan secara sengaja– sejak janin menginjak usia 40 hari, konsekuensinya sama halnya anda melakukan pembunuhan terhadap orang dewasa. Jika hal itu terjadi karena suatu halangan atau ketidaksengajaan, tentunya perlakuannya seperti halnya memperlakukan kematian seseorang pada usia dewasa atau tua. Dilakukan segenap upacara penyempurnaan arwah, memberikan nama, dan tidak lupa melaksanakan selamatan hingga 1000 hari akan jauh lebih baik.
Lebih dari itu sejak usia 40 hari janin akan memerlukan suplai makanan pokok berupa sperma dari suami. Dalam ilmu pengetahuan Jawa kuno terdapat nasehat, “..orok iku kudu “disirami” supaya slamet kabeh sak jabang bayine. Dahulu sebelum saya pernah “menyaksikan” sendiri, saya belum mampu memahami apa arti dari kalimat pepeling di atas. Bahkan sebaliknya, dominasi rasio saya dengan serta merta menyangkal, dan menganggapnya sebagai kalimat sekedar bermakna basa-basi dan hanya gugon tuhon, ela-elu, dan tidak mempunyai dasar yang kuat. Nah, setelah pengalaman spiritual yanng saya alami berlangsung, barulah mengerti apa maksud disirami. Ternyata tidak lain untuk membahasakan kegiatan hubungan suami istri sebagai bentuk memberi makan kepada si jabang bayi dalam kandungan ibu. Dalam kesadaran ini hubungan suami istri tidak saja sebagai pemenuhan nafkah batin atau psikhis maupun biologis, lebih dari itu sebagai tanggungjawab sang ayah memenuhi nafkah biologis (dan juga psikhis) bagi sang janin, yakni suplai makanan berupa air mani dari sang ayah. Mungkin bagi sebagian para pembaca hal ini dianggap aneh dan mengada-ada. Namun apakah anda memiliki argumen untuk menyanggahnya ? Jika mengabaikan pun resikonya hanyalah seperti yang akan saya paparkan pada alinea di bawah.
Sumber Makanan
1. Ibu; sumber makanan dari ibu berfungsi menopang pertumbuhan dan kesehatan janin atau embrio. Namun pertumbuhan embrio dan kualitas kesehatan masih tergantung pula pada kualitas suplai makanan untuk embrio. Kualitas suplai makanan dari ibu tentu saja sangat tergantung oleh kualitas makanan yang dikonsumsi ibunya. Maka sebaliknya semakin buruk kualitas makanan yang dikonsumsi ibu akan berpengaruh besar pada kesehatan dan pertumbuhan embrio. Jika suplai makanan ke embrio sangat terganggu misalnya karena si ibu sakit berat, resikonya dapat mengakibatkan kematian pada janin.
2. Bapa : sumber makanan embrio selain dari ibu juga diperoleh suplai makanan dari ayahnya berupa sperma. Lantas apa akibatnya jika janin tidak mendapatkan suplai makanan dari ayahnya yang berupa air sperma. Tentu tidak beresiko terjadi kematian pada janin. Namun kita ketahui bahwa sperma memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, selain bermanfaat untuk kesehatan janin lebih dari itu berfungsi membangun kecerdasan otak. Jika kondisi bayi terdapat diagnosa kurang sehat, lemas, kecapaian, dsb embrio perlu protein tinggi untuk mengembalikan stamina. Dalam kondisi embrio demikian hendaknya justru suami-istri melakukan hubungan agar janin cepat pulih (recovery). Hal ini justru sering dihindari oleh pasangan jika mendapati janin kurang sehat sehingga memperbesar resiko keguguran atau kematian janin. Silahkan anda membuktikan sendiri. Dari keadaan di atas, saya bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa kasus-kasus hamil di luar nikah dan ditelantarkan oleh pihak laki-laki/pasangannya biasanya janin yang akan lahir dengan mengalami berbagai masalah seperti misalnya daya pikir rendah hingga cacat. Bisa jadi hal itu menimpa pasangan resmi, misalnya bagi yang mempunyai kendala teknis untuk berkumpul dan melakukan hubungan suami-istri selama masa kehamilannya. Bisa disebabkan oleh perpisahan jarak yang cukup jauh, intensitas bertemu atau berhubungan suami istri yang jarang terjadi, atau ketakutan melakukan hubungan disebabkan masalah kesehatan atau kurangnya informasi tentang pendidikan dan informasi kesehatan janin. Resiko tersebut dapat terjadi dari kasus yang paling ringan hingga paling berat seperti berikut :
1. Kebodohan / lemah daya pikir
2. Kenakal dan disorder
3. Sakit-sakitan
4. Cacat fisik
5. Cacat mental
6. Kematian setelah kelahiran janin
Hal itu masih berkaitan erat dengan kondisi mental kejiwaan dari sang ibu selama hamil. Jika mengalami tekanan batin terus menerus secara mendalam selama masa kehamilan, akan membuka resiko timbulnya masalah dan cacat pada bayi. Bagi para pembaca yang memiliki latar belakang ilmu medis terutama pendidikan dokter atau dokter spesialis anak, silahkan memberikan input dengan segenap argumen yang ada. Saya pribadi sangat terbuka kritikan, dan silahkan dibuktikan melalui penelitian ilmiah agar dapat terbukti kebenarannya. Bahwa bayi selama masa di dalam kandungan ibu akan mengkonsumsi sperma dari ayah/pasangan hidup si ibu.
Wewaler dan Pepeling Jawa
Kehamilan merupakan peristiwa sakral yang dialami oleh ibu, janin dan ayahnya. Kehamilan dianggap sebagai “laku” tapa brata, mengendalikan nafsu terutama yang bersumber dari indera mata, telinga, hidung, dan mulut. Pada saat menjalani kehamilan harus ada kekompakan antara suami dan istri. Pasangan harus menghindarkan diri dari percekcokan, tengkar mulut, bergunjing, menyakiti hati orang lain.
Saat kehamilan merupakan “laku” prihatin yang berat terutama bagi istri dan juga suami. Seluruh organ tubuh si ibu semua turut menjalani prihatin, gentur laku. Betapa tidak, karena organ tubuh harus bekerja dua kali lipat untuk menopang kehidupan tubuhnya sendiri dan tubuh si jabang bayi. Jantung bekerja untuk memompa dua sirkulasi darah. Paru-paru digunakan untuk memompa udara agar tersebar ke dalam dua tubuh. Protein, vitamin, karbohidrat semuanya harus dibagi menjadi sumber hidup dua kehidupan. Kandungan kalsium ibu akan berkurang banyak (terutama jika mengandung bayi laki-laki), bahkan harus mengorbankan gigi-gigi dan tulang sang ibu untuk merelakannya menjadi keropos. Rambutpun menjadi kurang suplai makanan. Ibu harus rela berbagi kalsium atau zat kapur, pigmen, dan vitamin sehingga berakibat terjadinya kerontokan rambut yang parah. Enzim dan hormon ikut diperas untuk konsumsi si embrio sehingga sering menimbulkan guncangan emosi, stress dan depressi yang dialami ibu hamil maupun pasca melahirkan bayi. Di saat melahirkan, ibu masih harus berjuang meregang nyawa untuk mempertahankan kehidupan baru, yakni si jabang bayi sebagai generasi penerus kehidupan. Selama menempuh “laku prihatin” itu semua, si ibu tak boleh menggerutu, ngedumel, grenengan, sebagai pertanda ikhlas dan ketulusannya. Penderitaan dan keprihatinan yang mendalam yang dilalui dengan tulus akan mendatangkan berkah Tuhan Yang Maha Kuasa, merubah ucapannya menjadi idu geni. Apa yang dimohon dalam doa mudah terwujud (makbul). Apa yang dikatakannya mudah numusi (tijab).
Tugas suami adalah memberikan kasih sayang yang lebih, merawat, siap melayani 24 jam. Suami harus menciptakan suasana yang nyaman, tenteram dan aman agar diperoleh ketenangan lahir batin. Siang malam ibu bapa berdoa mohon keselamatan jiwa dan raga, untuk si jabang bayi, si ibu, dan keluarganya. Itulah sebabnya, jika wewaler dan pepeling tersebut apabila bisa dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka sudah menjadi keadilan Tuhan jika masa-masa kehamilan akan disertai berkah dan anugrah agung untuk keluarga. Hanya saja, dibalik tijabnya perkataan (idu geni) ternyata berlaku untuk semua perkataan yang keluar dari mulut. Baik istri maupun suami harus eling dan waspada selalu menjaga tabiat, perbuatan dan ucapannya agar melakukan hal-hal yang sebaik-baiknya. Karena sifat idu geni berlaku untuk kalimat dan kata-kata yang baik maupun yang buruk. Jika yang keluar dari mulut selalu perkataan baik, jika terjadipun merupakan hal yang baik. Sebaliknya jika yang terucap dari mulut merupakan perkataan kotor, jorok dan buruk akan sangat berbahaya jika numusi untuk si jabang bayi dan diri sendiri. Maka terdapat larangan (ora ilok atau pamali) jika bertingkah dan mengatakan hal-hal yang sifatnya buruk, misalnya bergunjing, memaki, dan mencela orang lain, bahkan mencela serta menyakiti binatang pun tidak boleh dilakukan. Sampai-sampai saat istri hamil, si suami tidak boleh melakukan sendiri menyembelih ayam atau kambing sekalipun untuk suatu keperluan dan acara.
Contoh Kisah
Sewaktu saya masih duduk di bangku kelas 1 SD saya pernah diajak piknik ke kebun binatang Gembiraloka, saat itu kami pergi bareng-bareng nyewa andong bersama para tetangga. Satu di antara tetangga ada yang tengah hamil. Saya menyaksikan sendiri dia orangnya kurang bisa menjaga mulut. Saat di kebon binatang melihat seekor anak gajah yang matanya buta satu karena cacat bawaan lahir. Tetangga saya yang sedang hamil sambil teriak-teriak dalam bahasa Jawa kasar,”…itu lihat matane gajah sisih tengen picek siji…gajah ko picek !!. Lalu di lain tempat sedang nonton induk gorilla yang kebetulan kaki kirinya agak kecil sebelah karena cacat. Induk gorilla itu berjalan tertatih pincang / dengklang. Tetangga saya yang hamil berteriak-teriak lagi dalam bahasa Jawa kasar, “…iku delengen, munyuke sing ireng kuwi pincang cokore kiwo. Mulane mlakune semper…lucu hihihi !!”. Selang 3 bulan kemudian, tetangga saya melahirkan bayi laki-laki. Namun ada hal yang sangat mengejutkan, ternyata bayi laki-lakinya mengalami cacat fisik mata sebelah kanannya buta permanen, sedangkan kaki sebelah kiri yang tadinya tampak normal, namun setelah usia 8 tahun barulah disadari kaki sebelah kirinya tidak berkembang, alias menjadi kecil sebelah dan jika berjalan pincang hingga saat ini.
Kisah di atas hanya satu contoh saja, sebenarnya masih ada beberapa contoh lain, dan juga contoh yang sahabat saya saksikan sendiri. Namun bukan tujuan saya untuk melakukan penelitian dan mengharuskan anda percaya sepenuhnya. Saya pribadi cukup bersikap yang antisipatif, harus selalu eling waspada apalagi pada saat istri sedang hamil. Deskripsi di atas kiranya dapat dijadikan pepeling bagi yang masih ngugemi paugeran. Maka orang-orang apabila melakukan sesuatu yang kurang baik, walau secara tak sengaja atau terpaksa, sering sambil berkata,”…amit-amit jabang bayi…!” hal itu dimaksudkan sebagai sikap hati-hati dan selalu mewaspadai akan segala ucapan dan perbuatan kita yang kurang baik, jangan sampai mengalami akibat buruk gara-gara keteledoran kita kurang mampu mengendalikan nafsu.
Untuk itu, dalam adat Sunda, Tana Toraja, Bali, Minang, Bugis, dst terdapat berbagai tradisi selamatan. Khususnya di Jawa terdapat berbagai selamatan selama ibu pada masa-masa hamil. Misalnya acara selamatan 4 bulan dengan membuat bancakan biasa dengan bumbu urap tidak pedas, kemudian mitoni atau selamatan 7 bulan (untuk yang hamil pertama) dan selamatan saat hamil anak yang ke tiga (medeking). Semua ditujukan sebagai upaya memohon keselamatan lahir dan batin kepada Tuhan, baik untuk keselamatan ibu serta si jabang bayi.
Tulisan ini saya persembahkan untuk saudara-saudara semua di sini, para pembaca yang budiman, dengan harapan bisa memberikan sedikit manfaat bagi anda atau istri anda yang sedang menjalani masa-masa kehamilan. Dengan harapan semoga diberikan kesehatan, keselamatan, ketentraman dan kebahagiaan lahir dan batin. Semoga buah hati kelak menjadi orang pinunjul, linuwih, hambeg paramarta lakutama, saget mikul dhuwur mendhem jero dumateng tiyang sepuh, lan migunani tumrap ing sesami. Salam kasugengan, rahayu, karaharjan, sentosa, widodo nir ing rubeda, kalis ing sambekala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar