Senin, 16 November 2009

AKSARA JAWA SAKING SERAT WIRID


1. Ha : Hananira sejatine wahananing Hyang.
Adanya pada hakekatnya adalah pendukung Hyang …. wujud atau kebenaran.

2. Na : Nadyan ora kasad mata pasti ana.
Meskipun tidak nampak oleh mata, tetapi ia pasti ada.

3. Ca : Careming Hyang yekti tan ceta wineca.
Nikmatnya Hyang yang sesungguhnya tak (dapat) diuraikan dengan jelas(mempergunakan kata-kata). Karena tak ada sesuatu yang menyerupai Hyang.

4. Ra : Rasakena rakete lan angganira.
Rasakanlah eratnya dengan badanmu.

5. Ka : Kawruhanan jiwa kongsi kurang weweka.
Ketahuan dari jiwa jika kurang diusahakan.

6. Da : Dadi sasar yen sira nora waspada.
Jika tidak waspada (kau) akan menjadi sesat.

7. Ta : Tamatna prabaning Hyang Sing Sasmita.
Perhatikanlah cahaya Hyang yang memberikan isyarat.

8. Sa : Sasmitane kang kongsi bisa karasa.
Isyarat yang sampai dapat dirasakan.

9. Wa : Waspadalah wewadi kang sira gawa.
Lihatlah dengan seksama (sifat) batin sesungguhnya yang anda bawa.

10. La : Lalekna yen sira tumekeng lalis.
Lupakanlah pada waktu anda sampai pada kematian.

11. Pa : Patisasar tan wus manggyapapa.
Kematian sesat yang tak sampai pada tujuan akan menjumpai kesengsaraan.

12. Dha : Dhasar beda lan kang wus kalis ing godha.
Pada dasarnya berbeda dengan (orang) yang telah tak terpengaruh oleh godaan.

13. Ja : Jangkane mung jenak jemjeming jiwaraga.
Rencana tindakannya, hanya tahan tenteram didalam kebesaran jiwa.

14. Ya : Yatnanana liyep luyuting pralaya.
Lihatlah dalam keadaan lupa-lupa ingat mengaburnya pralaya/kematian.

15. Nya : Nyata sonya nyenyet lebeting kadonyan.
Nyata (bahwa) sunyi senyap (segala) jejak keduniawian.

16. Ma : Madyen ngalam perantunan aja samara.
Ditengah “ngalam perantunan” janganlah ragu-ragu.

17. Ga : Gayuhaning tanaliyan jung sarwa arga.
Tak ada lain yang hendak dicapai kecuali segala “gunung” atau “jamuan”.

18. Ba : Bali murba wisesa ing njero njaba.
Kembali mengatur menguasai (segi) luar dan dalam.

19. Tha : Thukulane widadarja tebah nistha.
Tumbuhnya kekuatan hukum menembus kerendahan/kehinaan.

20. Nga : Ngarah-arah ing reh mardi-mardiningrat.

Berhati-hati dalam merencanakan pengaturan-mengatur dunia.Uraian mengenai 20 petunjuk “aksara” – dari serat sastra gending; Karya Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma.

1. Sahasa Jawa.

“Kawuri pangertine Hyang, taduhira sastra kalawan gending, sokur yen wus sami rujuk nadyan aksara jawa, datan kari saking gending asalipun, gending wit purbaning kala, kadya kang wus kocap pinuji”.

Bahasa Indonesia.

“Pemusatan diri pada Hyang, petunjuknya berupa sastra (syariat) dan bunyi gending (Manipat). Jika telah disepakati (bersama), meskipun aksara jiwa tidak meninggalkan bunyi gending asalnya, bunyi gending sejak jaman purbakala, seperti yang telah diucapkan terdahulu.”

2. Bahasa Jawa

“Kadya sastra kalidasa, wit pangestu tuduh kareping puji, puji asaling tumuwuh, mirit sang akadiyat, ponang : Ha na ca ra ka : pituduhipun, dene kang : da ta sa wa la; kagetyan ingkang pinuji”.

Bahasa Indonesia

“Seperti halnya sastra (aksara jawa) yang dua puluh (adalah) sebagai pemula untuk mencapai kebenaran, yang mempatkan petunjuk akan makna puji, serta puji kepada segala sumber yang tumbuh (atau hidup); memberikan (mirit) ajaran akadiyat berupa ha na ca ra ka, petunjuknya. Sedang da ta sa wa la, adalah berarti kepada (kepada Tuhan) yang dipuji”.

3. Bahasa Jawa.

“Wadat jati kang rinasan, ponang: pa da ja ya nya; angyekteni, kang tuduh lan kang tinuduh, pada santosanira, wahanane wakhadiyat pembilipun, dene kang : ma ga ba ta nga, wus kenyatan jatining sir”

Bahasa Indonesia

“Wadat jati yang dirasakan berupa: pa da ja ya nya; adalah yang menyaksikan bahwa yang memberi dan yang diberi petunjuk adalah sama teguhnya; tujuannya (adalah) mendukung dan akhadiyat, sedang: ma ga ba ta nga (berarti) sudah menjadi nyata (keadaan) sir yang sejati?’.

4. Bahasa Jawa.

“Pratandane Manikmaya, wus kenyatan kawruh arah sayekti, iku wus akiring tuduh, Manikmaya an taya, kumpuling tyas alam arwah pambilipun, iku witing ana akal, akire Hyang Maha Manik”.

Bahasa Indonesia.

“Tanda (daripada) Manikmaya (terlihat) juga sudah nyata pengetahuan akan tujuan yang sesungguhnya, itulah akhir dari pada petunjuk; Manik Maya adalah Tiada/Taya (suwung) (yaitu) bersatunya hati dengan alam arwah; itulah saat mulanya ada akal, dan adalah akhir dari pada Hyang Maha Manik”.

5. Bahasa Jawa.

“Awale Hyang Manikmaya, gaibe tan kena winoring tulis, tan arah gon tan dunung, tan pesti akir awal, manembahing manuksmeng rasa pandulu, rajem lir hudaya retna, trus wening datanpa tepi”.

Bahasa Indonesia.

“Kegaiban dari awal Hyang Manikmaya tak dapat diramu atau diungkap dengan tulisan, tiada awal dan tiada tempat, tiada arah dan tiada akhir; sembahnya (dengan) melebur ke dalam rasa penglihatan, (bersifat) tajam bagaikan pucuk manikam, jernih tembus tak bertepi”.

6. Bahasa Jawa.

“Iku telenging paningal, surah sane kang sastra kalih desi, lan mirit sipati rong puluh, sipat kahananing dat, ponang akan durung ana ananipun kababaring gending akal, Manikmaya wus kang ngelmi”.

Bahasa Indonesia

“Itulah pusat penglihatan, makna daripada dua puluh aksara, dan (juga) mengajarkan sifat dua puluh, sifat keadaan Dat, ketika akal belum mengada (ada) terurai dalam kata-kata (yang) menyatakan akal, Manikmaya itulah Ngelmi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar