Senin, 23 November 2009

Ibadah = Ngawulo = Melayani

Ibadah kepada Tuhan
Jika kita mendengar kata “ ibadah “, maka yang tertangkap oleh pikiran kita adalah bentuk tindakan ritual agama. Lalu, kalau ada orang yang tidak menjalankan ritual formal tersebut, kita akan katakan bahwa orang itu tidak “ beribadah “. Akibatnya, suburlah formalitas dalam kehidupan ini. Orang akan takut dicap atau dikatakan “ kafir “, maka rajinlah ia ketempat-tempat ibadah. Tetapi kezaliman dalam bentuk korupsi, manipulasi dan kong-kalikong, curiga terhadap orang lain yang tidak seide atau segolongan tetap langgeng dalam prakteknya. Orang lebih mementingkan “kesatuan ” daripada persatuan. Orang lebih suka terhadap “ keseragaman “ dari pada “ keberagaman “. Kalau ini yang terjadi, bukan ibadah yang subur tetapi merupakan bentuk ibadah upacara….!.

Manusia tidak bisa diseragamkan, karena masing-masing memiliki kadar dan batasannya sendiri-sendiri. Persatuan memang harus dibangun, tetapi bukan “ kesatuan atau keseragaman “. Menyeragamkan orang-orang yang batasnya jauh berbeda akan menghancurkan “ tatanan kehidupan “ bagi masyarakat. Ini sama artinya kita telah menerima hal-hal yang bersifat “ Thaghut “ atau melampaui batas.
Sudah semestinya kita ini memandang bahwa semua agama diajarkan oleh para nabi-nabi berdasarkan “ realitas “, bukan atas dasar budi yang tidak terpimpin. Kita juga harus sadar bahwa ketika Nabi-nabi mengajarkan agama kepada manusia memang ( maaf mengambil istilah Jawa ) “ Bener dan Pener “. Bener karena agama diajarkan oleh para nabi diterima oleh beliau dari Tuhan. Pener karena agama diajarkan oleh beliau sendiri yang disesuaikan dengan kondisi, budaya, serta tingkat peradaban dan dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh masyarakat yang menerimanya pada masa itu. Agar agama itu tetap dianut masyarakatnya secara “ hanif “atau lurus, makanya di dalam sebuah teks book Kitab Suci banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk “ berpikir, bertafakkur, bertadzabur, bertazakkur dan bernalar “. Tujuannya apa…?. Supaya kita-kita ini dalam beribadah tidak memperturutkan “ hawa nafsu “ atau Ego.

Mengikuti hawa nafsu, memperturutkan keinginan tanpa pikir, dapat menjatuhkan diri ke dalam dunia hampa yang penuh kegelapan. Karena itu dari segala jenis berhala yang paling berbahaya bagi manusia adalah “ mempertuhan hawa nafsu “ alias thaghut. Jangan sampai keimanan kita gugur gara-gara secara tak sadar kita telah ber Tuhan pada hawa nafsu kita sendiri…..!!.
Jelas, bahwa inti hidup manusia beragama adalah mengingkari bentuk “ thaghut “ yaitu menolak ber-Tuhan pada hawa nafsu. Sikap demikian yang seharusnya kita tampilkan, aplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Biarkan orang-orang bekerja diladangnya dengan tenang. Biarkan orang saling menolong sesuai kemampuannya dengan nyaman. Jangan ganggu orang yang melakukan ritual keagamaan berdasarkan keyakinan dan pemahamannya. Jangan paksa orang untuk menjalankan syariat yang dirasakan asing baginya. Sebab menjalankan syariat yang sama sekali tidak dimengerti, dipahami manfaatnya, ibarat orang yang berjalan tetapi tidak tahu kemana tujuannya. Hal ini sama saja beribadah dengan “ kepalsuan penuh kepura-puraan “ dan membohong diri sendiri.

Sudah semestinya dalam beribadah terlebih dahulu kita harus memahami makna “ iyya kana’budu “ hanya kepada Tuhan kami beribadah, betul-betul kita resapi, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dengan wujud dan karya nyata. Bukan hanya beribadah dalam konteks “ritualnya”, melainkan dengan aksi, tindakan dan perbuatan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh sesama. Bagaimana bisa disebut ibadah hanya kepada Tuhan bila yang kita lakukan masih dalam bentuk ikut-ikutan yang berhenti dan mandheg pada stasiun apa katanya…?. Apakah bisa disebut ibadah kepada Tuhan jika yang kita lakukan karena bentuk-bentuk ketakutan…?. Apakah bisa disebut ibadah kepada Tuhan jika yang kita lakukan karena mengharap pahala dan surga…?. Apalagi karena keterpaksaan mengikuti sebuah perintah hadis dan teks book Kitab Suci…!.
Seseorang yang telah mengerjakan ladangya dengan benar, lalu menanam benih ke dalam lubang sambil mengingat Tuhan Yang Mahakuasa, itu disebut ibadah. Seorang karyawan yang bekerja di Perusahaan dengan benar dan mengikuti segala aturan yang ada di dalamnya, itu juga bentuk dari pada ibadah. Jadi prinsipnya ibadah adalah bentuk-bentuk pengabdian yang nyata…!!. Bukan berbuat atas dasar angan-angan, kalau yang demikian namanya kita beribadah dalam hayalan. Jika seseorang ingin kenyang ya harus makan, jika ingin punya uang ya harus bekerja. Kalau kita ingin “ ilaihi raji’un “ kembali kepada Tuhan ya harus tahu jalannya….!. Jalan itu telah dibuat oleh Tuhan di dalam diri kita masing-masing.
Jadi kalau kita mau beribadah dengan benar, yah…sudah seharusnya kita cari dalam diri kita….! Karena Tuhan itu sudah ada dalam diri manusia dan tak perlu jauh-jauh manusia dalam mencari Tuhan-Nya…!!. Sebagaimana yang telah tersirat dalam suratan Kitab Suci (QS. Al Hadid. 4) yang terjemahannya demikian :
“ …………….Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan “.


Atmosfir yang berkembang dalam komunitas agama, ibadah baru dipahami hanya sebatas “menyembah” kepada Tuhan. Ibadat atau dalam bahasa Arab berarti a-ba-da, yang memiliki arti jamak berupa melayani, menyembah, menghambakan diri, menundukkan diri, mencintai dan memuliakan.
Jika seseorang melayani Tuhan, maka Tuhan akan melayani orang tersebut. Bukankah hal ini juga telah tertulis dalam Kitab Suci QS. Al Baqaarah 152 dikatakan “ Berdzikirlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku berdzikir kepadamu “.
Lalu diayat yang lain QS. Al Baqaarah 156 “ Aku mengabulkan permohonan orang yang meminta kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi permintaan-Ku dan beriman kepada-Ku “.
Dan, apa kira-kira bentuk permintaan Tuhan itu…?. Ternyata di dalam Kitab Suci, manusia dilarang untuk berbuat zalim, merusak alam beserta isinya dan segala bentuk tindakan yang “ memperturutkan hawa nafsu “.
Disamping ada permintaan yang bersifat larangan, ada pula yang bersifat perintah. Dan, yang diperintah oleh Tuhan kepada manusia adalah seseorang harus berbuat baik dan adil terhadap sesama, menebarkan kasih sayang, membangun persaudaraan antara sesama dalam lintas agama, budaya dan bangsa. Seseorang juga disuruh untuk memberikan pertolongan dan perlindungan bagi yang lemah.
Permintaan ini harus dibarengi pula dengan keimanan kepada Tuhan. Yang mesti kita pahami, iman bukan hanya sekedar percaya dalam bentuk ucapan, kalau yang ini anak kecil saja pun bisa, tetapi iman merupakan perwujudan dari hati yang aman dan jiwa yang rela….!!. Aman dari apa…?. Tentu saja aman dari sifat-sifat kedengkian, hasud, dendam, kesombongan, iri hati, dan berbagai macam sifat negatif lainnya.
Dalam komunitas pendaki spiritual, untuk bisa beribadah guna mendapat bimbingan dari Tuhan, manusia harus bertahali, mengosongkan hati ( qalbu ) dari berbagai sifat negatif. Bertahali yaitu menghiasi qalbu dengan berbagai sifat positif. Nah bila hati ( qalbu ) manusia sudah aman dan tenang, maka akan bersemayamlah Tuhan di dalam hatinya. Bukankah langit, bumi dan segala isinya tak akan mampu menjangkau Tuhan…?. Tetapi hati orang mukminlah yang mampu menjadi tempat bersemayam-Nya Tuhan.
Makna ibadah yang lain adalah mengikatkan diri kepada Tuhan. Juga disebut dengan menundukkan diri kepada Tuhan. Dalam makna ini seseorang yang beribadah haruslah jauh dari segala pamrih terhadap sesamanya. Cara untuk menundukkan diri pun tidak bisa diprogram, dipola dan diatur oleh orang lain. Sama dengan orang yang mau makan, batas kenyang seseorang tidak dapat ditentukan oleh orang lain.

Mengikuti diri sendiri tidak sama dengan berperilaku semena-mena, semau gue, sak kepenak-e udele dhewe. Mengikuti diri sendiri itu terlahir dari “ pencarian makna “ hidup, bukan karena bentuk “ kefrustasian ” menjalani kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar